"Dia jahat," bisik Nenek dengan suara yang sedikit berbeda. Tatapanku beralih kembali ke Nenek. Menatap sorot matanya yang tajam. Terus mencoba masuk ke dalam dirinya lebih dalam lagi. Karena ternyata ada orang lain di sana. Aku menoleh ke cermin yang menempel di lemari pakaian Nenek. Mengamati dari sana tubuh Nenek yang renta. Akhirnya aku benar-benar dapat melihatnya sekarang. Sosok itu ada di dalam sana. Tersamarkan.
"Coba Rosi periksa ya, Nin," kataku kemudian melepaskan tangan keriput Nenek. Tapi beliau justru menahan ku agar tidak ke mana-mana.
"Jangan. Jangan ke sana. Nanti Fifi dibawa sama dia!" Nenek terlihat ketakutan. Ibu serta Rangga hanya menatap kami bergantian. Suara Nenek berubah lagi. Memang agak mirip, tidak berbeda jauh. Namun kalau didengarkan lebih seksama akan terlihat lain.
"Nggak apa-apa. Rosi mau lihat sebentar aja. Fifi aman kok." Mama Rangga ikut melepaskan tangan Nenek dariku.
"Tante, coba sambil dipijit ibu jari kakinya," pintaku, berbisik pada Ibu Rangga.
"Oh gitu."
"Rangga. Bantuin Mama kamu itu."
"Hah? Oh iya."
Aku berjalan terus menuju pintu, masih menatap celah tadi dengan dua titik warna merah yang masih ada di sana. Namun saat sudah dekat, dia justru pergi. Aku berdiri di depan pintu, memperhatikan celah tersebut sembari menyentuhnya.
"Kenapa, Mba? Ada apa?" tanya Ayah Rangga.
"Eum, Om ... Banyak guci di sini, ya? Punya Om semua?" tanyaku tidak menjawab pertanyaan tadi. Tapi pertanyaan ini memang ingin aku tanyakan sejak masuk ke dalam rumah.
"Oh iya. Saya suka koleksi barang antik. Itu banyak di kasih orang, ada juga yang beli. Kenapa?"
Aku keluar dari kamar, tengak-tengok mencari keberadaan mata merah tadi. "Hm, nggak apa-apa sih, Om. Cuma sedikit horor aja. Biasanya barang-barang antik suka ada yang nempatin sih. Terutama lukisan sama patung," jelas ku masih memeriksa keadaan lantai dua ini.
"Iya sih. Tapi gimana dong, saya suka."
"Iya udah nggak apa-apa, Om. Saya lihat nggak begitu berbahaya sih. Masih aman aja. Cuma yang satu ini masih belum kelihatan niatannya."
"Satu ini? Yang mana?" Ayah Rangga ikut tengak-tengok mencari sepertiku.
Rangga lantas keluar menyusul kami. Begitu pula Ibu nya. Saat aku menoleh ke kamar Nenek, rupanya Nenek sedang tidur, dan Kakek hanya duduk santai menikmati pemandangan di jendela.
"Gimana?" tanya Rangga.
"Gini. Aku sih belum begitu tau masalah nya, tapi Fifi itu memang ada. Dia ada di dalam tubuh Nenek. Sembunyi, dan seperti menyatu sama Nenek. Soalnya mereka agak mirip. Dari semuanya, fisik, wajah, sikap, karakter. Sama."
"Serius?"
"Iya. Awalnya aku nggak sadar. Aku pikir memang karena umur Nenek yang sudah tua, tapi pas ngobrol tadi aku dengar suara Fifi. Samar, tapi aku yakin itu Fifi. Tapi dia nggak berbahaya sih. Cuma ... Makhluk yang di luar tadi. Matanya merah, sering mengintip kamar Nenek. Untungnya dia nggak bisa masuk."
"Waduh. Beneran ini?" tanya Papa Rangga.
"Percaya nggak percaya sih, Om. Saya nggak akan memaksa orang lain percaya perkataan saya. Saya juga sering nggak yakin sama diri saya sendiri." Tawaku renyah, membuat mereka ikut tersenyum.
"Terus gimana, Ros?" Rangga serius.
"Kalau soal Nenek, mungkin nanti aku minta tolong temen. Buat rukiyah aja. Walau nggak berbahaya, tapi nggak seharusnya ada sosok lain di tubuh Nenek. Besok aku kabarin kamu lagi deh."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
TerrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...