"Ines ... Ada apa dengan rumah Daniel? Kau pasti melihat sesuatu, kan?" tanya Lee saat dalam perjalanan pulang.
Aku yang sejak tadi hanya menikmati pemandangan samping, lantas menoleh. Menarik nafas, kemudian berdeham. "Iya. Tapi mungkin itu bukan apa-apa. Semua rumah pasti ada penghuninya, kan, Lee? Semoga mereka baik-baik saja."
"Benar, kah? Lantas, rumahku juga ada penghuninya juga?"
"Ya ada. Tapi dia tidak pernah mengganggu mu, kan?"
"Sejauh ini, tidak. Tapi aku menjadi takut sekarang untuk pulang."
"Dasar pengecut. Melawan penjahat kamu berani, masa dengan hal yang tidak kau lihat, takut!" ejekku.
.
.
.Lee mengantar ku hanya sampai halaman depan. Aku lantas masuk ke apartemen dengan tubuh lelah. Lift terbuka, di dalam ada sesosok wanita berdiri di sudut lift. Menghadap ke belakang. Itu sudah biasa kulihat selama berada di sini. Selagi dia tidak mengganggu, aku pun tidak apa-apa. Kemunculan mereka itu bukan hal disengaja, karena sebenarnya aku lah yang salah, karena bisa melihat mereka.
"Baru pulang?" tanya sosok itu dengan suara yang menggema.
"Iya."
"Temanmu tadi datang. Sambil menangis."
"Teman yang mana?"
"Yuna."
"Oh, mungkin dia sedang bertengkar dengan kekasihnya."
"Dia sudah memiliki kekasih lagi?" tanyanya penasaran. Sosok ini memang sering mendengar pembicaraan setiap orang yang masuk ke toilet. Aku dan Yuna termasuk sering berbincang di sini. Jadi dia tentu mengetahui banyak hal.
"Yah, begitulah. Kekasihnya sudah meninggal, jadi kenapa harus bersedih terlalu lama? Benar, kan?"
"Kau sendiri, bagaimana? Kenapa belum juga melupakan lelaki itu? Di Korea banyak lelaki yang menyukaimu, kan?"
"Dasar, sok tau." Pintu lift terbuka. Aku pun keluar. Terkadang kehadiran mereka memang seperti teman mengobrol. Saat pertama bertemu, tentu aku takut. Tapi makin lama, mereka tidak se-menakutkan itu kok.
Koridor lantai ini, memang selalu sepi. Tapi tidak berarti tanpa penghuni. Karena di lantai ini, ada seorang kakek yang selalu terlihat menyapu lantai. Setiap hari, setiap saat.
"Malam, Kek," sapaku saat melewatinya.
"Penghuni kamar 405 berkali-kali mencarimu," sahutnya.
Aku pun berhenti berjalan dan menoleh. "Mau apa dia?"
"Entahlah. Tapi aku lihat dia selalu membawa setangkai mawar merah. Mungkin dia ingin mengungkapkan perasaan padamu."
"Cih, kenapa tidak membawa makanan saja sih." Aku lantas melanjutkan berjalan menuju pintu kamar.
"Memangnya kamu akan menerimanya? Sepertinya tidak," sindir sang Kakek.
Aku hanya tersenyum kecil, dan segera masuk ke dalam. Setidaknya beberapa penghuni di apartemen ini tidak se-menakutkan apartemen yang pernah aku huni di tanah air. Mereka lebih menerima kematian masing-masing. Walau bentuk wajahnya sedikit tidak sedap dipandang. Hanya saja entah mengapa mereka masih tertahan di sini. Mungkin ada urusan yang belum selesai. Atau menunggu ada yang menjemput.
Setelah mandi, aku membuat secangkir kopi hitam. Kepalaku terasa berat karena aktifitas seharian.
[Hai Rangga. Gimana hari ini? Kerjaan lancar, kan? Aku tadi pergi sama Lee, ke rumah salah satu teman kami. Ada yang aneh sama rumahnya. Tapi semoga mereka baik-baik aja. Gimana cuaca di Jakarta? Di sini mulai masuk musim gugur. Aku suka pemandangannya. Kapan-kapan, aku harap bisa ajak kamu ke sini.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
HorrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...