10. Psikopat!

98 24 3
                                    

"Satpam itu sudah masuk ke DPO polisi. Lu gimana? Udah tenang? Katanya kita bisa balik sekarang," tutur Rangga.

Aku hanya duduk di ruang tunggu, jaket milik Rangga menutupi sebagian tubuhku. Sampai subuh, kami berada di kantor polisi untuk melaporkan kejadian ini. Aku masih takut untuk pulang.

"Sorry, ya."

"Kenapa?"

"Elu malah nemenin gue di sini, seharusnya kan bisa langsung pulang tadi habis antar Om."

"Nggak apa-apa. Lagian mana tega gue ninggalin elu di sini sendirian. Mau balik sekarang apa minggu depan nih? Gue udah ngantuk banget," jelas Rangga sesekali menguap.

Pernyataan ku tentang kejadian di apartemen mendapat respon yang baik. Aku pikir polisi akan menganggap kesaksian ku mengada-ada, tapi ternyata satpam yang baru kutau namanya Roy itu, sudah beberapa kali keluar masuk penjara karena narkoba. Dia bahkan pernah menjadi bandar Sabu saat masih remaja. Entah bagaimana dia bisa bekerja menjadi keamanan di apartemen yang kutinggali. Yang pasti, aku tidak betah tinggal di sana.

Pukul 06.00 kami sampai di apartemen. Rangga mengantar ku sampai atas, bahkan sekarang dia malah merebahkan diri di sofa.

"Loh, lu nggak kerja?"

"Bolos ah. Nggak fokus pasti nanti. Ngantuk banget gue. Lagian lu nanti sendirian di sini. Gue mau tidur dulu, kalau ada yang aneh-aneh, bangunin gue. Terus jangan sembarangan buka pintu kalau ada tamu. Itu satpam gila belum ketangkep," pinta Rangga. Matanya sudah terpejam, aku yakin dia sudah tidak bisa menahannya lagi. Akhirnya hanya dalam beberapa menit aku sudah mendengar suara dengkuran Rangga.

Aku mulai memasukan barang-barang ke dalam kardus. Tidak begitu banyak, hanya pakaian, pigura, dan beberapa novel koleksiku. Tapi ternyata setelah dimasukkan dalam kardus, cukup banyak memakan tempat. Hari ini juga aku ingin pindah dari tempat ini. Trauma akan teror yang aku alami sejak beberapa waktu lalu, tidak bisa kulupakan begitu saja. Rasanya aku sudah tidak nyaman lagi jika harus tinggal di sini. Hanya saja aku belum tau akan pindah ke mana. Sekarang ini aku masih menunggu informasi dari Indi, Mey, dan Nita. Mereka sudah aku mintai tolong untuk mencarikan apartemen yang baru.

Pukul 10.00 Rangga masih terlihat lelap tidur. Sebentar lagi makan siang, pasti dia akan menjerit meminta jatah makan siang. Sementara itu, stok bahan makanan di kulkas sudah habis. Hanya ada dua butir telur. Tidak ada karbohidrat atau sayuran apa pun lagi. Terpaksa aku harus keluar ke minimarket dekat apartemen.

"Bangunin nggak, ya? Tapi kasihan. Ah, biarin aja deh. Lagi pula aku cuma sebentar, deket pula. Apartemen juga kalau siang pasti ramai," gumam ku berbicara sendiri, saat menatap Rangga yang tidur dengan melipat kedua tangan di depan.

Alih-alih membangunkan Rangga, aku hanya menulis pesan dan menempelkan di atas meja. Melihatnya kelelahan membuatku merasa tidak enak. Aneh memang, kenapa aku menjadi sering bertemu dengannya. Apalagi di saat yang memang aku butuhkan. Rangga memang sering melontarkan kalimat menyebalkan, tapi entah kenapa aku tidak bisa marah.

Hanya membawa ponsel dan dompet, aku bergegas keluar. Di koridor lantai 11 terlihat beberapa orang yang datang dan pergi. Sepertinya ada penghuni baru, tapi penghuni lama juga terlihat bergegas pergi dengan koper besar.

Kami bertemu di lift. Beberapa kali aku memang sering berpapasan dengan dia, wanita muda ini sepertinya bekerja sebagai karyawan bank swasta, karena aku pernah melihatnya saat membuka rekening bank baru.

"Mau pindah, kak?" tanyaku basa basi. Dia melirik, dan menaikkan sebelah bibirnya.

"Iya. Nggak tahan gue di sini. Apalagi isu satpam gila yang membunuh penghuni apartemen? Wah, gila sih! Mana bisa tenang gue tinggal di tempat ini."

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang