"Yah Gladis itu bukan manusia. Saya sudah perhatikan lama. Ada yang aneh sama dia."
"Jadi maksudnya dia itu apa, Bang?"
"Tubuhnya memang tubuh seorang manusia. Tapi jiwanya bukan dari pemilik tubuh itu. Bahkan kalau jiwanya keluar dari sana, saya yakin kalau jasadnya tidak sebagus apa yang kita lihat sekarang."
"Jadi jiwa siapa yang masuk ke sana? Kok bisa gitu, ya?"
"Bisa, Neng. Bahkan saya rasa apa yang merasuki tubuh Gladis juga bukan dari kalangan manusia."
"Mungkin nggak sih, kalau pemilik tubuh itu sebelumnya melakukan perjanjian dengan iblis, terus dia nggak bisa memberikan tumbal atau semacamnya, makanya jiwanya diambil, tubuhnya kosong terus diisi makhluk lain. Bisa nggak?" tanyaku.
"Sangat masuk akal, Neng."
"Apa dia sedang mengincar Rizal untuk dijadikan tumbal?" tanya Rahma.
"Bukan. Bukan tumbal, justru sebagai makanan." Perkataan Bang Cen membuat mata kami semua melotot. Makanan manusia? Rasanya itu terlalu mengerikan, membayangkannya saja aku sudah takut. "Dan Neng Rosi, harap hati-hati mulai sekarang. Bisa saja mereka akan mendekati Neng karena tau telah terendus keberadaannya."
Glek! Mati aku. Ngapain juga aku pakai ketauan tadi.
Kami sepakat mencari keberadaan Rizal terlebih dahulu. Asep menghubunginya dan menanyakan di mana keberadaannya. Setelah tau kalau dia berada di rumah, kami segera menuju ke kediamannya.
Tidak banyak yang ikut untuk urusan seperti ini. Hanya ada Bang Cen, Indi, Mey, Aku, Rangga, Asep, Lilis, dan Nida. Nida memaksa ikut karena ingin mengetahui tentang Rizal.
Kami sampai di rumah Rizal. Nida yang menunjukkan jalan ini karena hanya dia yang pernah berkunjung, bahkan sering datang ke tempat ini. Rumah Rizal memang terbilang mewah. Apalagi memang berada di kawasan perumahan elit di Ibukota. Hebatnya lagi, rumah ini dia yang beli sendiri. Bukan pemberian orang tua. Sebelum bekerja di kantor Dunia Sebelah, dia sudah berkeliling kerja di kapal pesiar. Bertahun-tahun dia terus berada di perairan, dan akhirnya merasa cukup memiliki tabungan. Akhirnya bergabung dengan perusahaan ini.
Rizal juga bukan termasuk laki-laki yang gemar bermain wanita. Dia termasuk orang baik dan tidak banyak tingkah. Tapi sejak bertemu Gladis, semua berubah. Rizal memang terlihat lain, terkadang dia seperti bukan dirinya.
"Zal? Gue di depan nih!" kata Asep, berbicara melalui tombol bel yang dapat berkomunikasi dengan pemilik rumah.
"Udah sampai?" tanya Rizal di dalam rumah.
"Udah. Tapi gue sama temen-temen yang lain juga nggak apa-apa, kan? Mereka minta ikut."
Tidak lagi menjawab perkataan Asep, gerbang rumah tersebut terbuka. Kami semua saling pandang dan takjub dengan kemewahan rumah ini.
"Berapa, ya? Harga pintu gerbang ini? Gaji gue sebulan nggak cukup kayaknya buat beli," bisik Asep, kami pun terkekeh karena perkataan itu ada benar nya juga.
Sampai teras, pintu rumah yang selebar dua meter lebih itu terbuka. Rizal keluar dari dalam sudah memakai pakaian santai. Dalam balutan kaus polo dan celana pendek saja, aura nya terasa berbeda dari penampilannya di kantor. "Yuk, masuk," ajak nya dengan senyum sumringah. Namun saat dia melihat Nida, wajahnya terlihat berseri. "Nid? Kamu ikut juga? Aku pikir udah pulang tadi?" tanyanya.
Sontak Nida melotot ke arah kami. Aku yakin dia tidak menyangka kalau Rizal kembali bersikap manis padanya. Bahkan kami juga merasakan keanehan itu. Berbeda sekali saat di kantor tadi. Di sini, Rizal seperti Rizal yang dulu, yang kami kenal selama ini. Mungkin, kah, pengaruh Gladis hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
TerrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...