Seharian tadi aku hanya berada di apartemen, sesekali mengetik kisah yang sedang kutulis di sebuah aplikasi berbayar. Zaman digital dewasa ini memang memudahkan orang untuk melakukan banyak hal hanya dengan ponsel pintar. Bahkan buku fisik sudah tidak begitu banyak diminati. Walau pun masih ada beberapa orang yang lebih menyukai buku fisik, bahkan aroma buku lama jauh lebih menggugah selera bagiku ketimbang semangkuk bakso. Beberapa novel milikku sudah ada yang mendapat tempat di berbagai rak toko buku, itu adalah beberapa karya lama yang sudah melalui tahap editing besar-besaran. Kini aku lebih memilih menulis di beberapa aplikasi menulis daring. Lebih mudah melakukannya, dan tawaran yang mereka berikan cukup masuk akal dan masuk kantung. Setidaknya aku bisa bertahan hidup hanya dengan menulis selama ini.
Gawaiku berdering. Menampilkan sebuah pesan dengan nomor asing.
[Ros?]
Aku tidak langsung menjawab, mencoba memeriksa foto profil yang ia pakai, sambil mengingat wajah yang ada di sana.
[Rangga?]
[Iya, gue.]
[Tau nomorku dari mana?]
[Indi. Sibuk nggak? Gue mau minta tolong. Urgent banget!]
[Minta tolong apa?]
[Bisa ke rumah gue? Sekarang. Gue jemput deh. Atau naik ojek aja, nanti duitnya gue ganti. Buruan ya, Ros.]
[Heh? Mau ngapain? Ada apa sih?]
[Tolong cek Nin gue. Dia kenapa ini? Kesurupan atau apa? Gue video call, ya.]
Belum sempat aku menjawab, dia sudah menelponku. Tanpa ragu aku segera menggeser layar ke atas. Wajah Rangga terlihat jelas di sana. Tersenyum, sambil sesekali memperhatikan sekitarnya.
"Hehe. Maaf, ya. Ganggu. Coba kamu cek deh."
Layar ponsel berganti. Menampilkan keadaan sekitar rumahnya. Ia berjalan mendekati sebuah kamar dengan beberapa orang di dalamnya. Aku hanya diam, sambil terus memperhatikan kondisi ruangan itu, juga nenek Rangga yang sedang meracau tidak jelas menggunakan bahasa sunda, yang tidak kupahami sama sekali.
"Gimana?" tanya Rangga, berbisik. Ia lantas mundur dan mengganti layar ponsel dengan dirinya. Rangga terus berjalan dan berakhir dengan menutup pintu kamar.
"Hm. Aku belum lihat hal aneh sih tadi. Memangnya nenek kamu kenapa awalnya tadi?"
"Tiba-tiba aja gitu. Ngomel-ngomel nggak jelas, terus seolah ada temennya gitu. Kan serem. Atau cuma khayalan dia aja, ya? Biasa orang tua."
"Bisa jadi sih. Susah tapi kalau lihat di handphone."
"Jadi gimana? Kamu ke rumah?"
"Hm, iya. Ya udah kirim alamat kamu, nanti aku ke sana."
"Oke. Makasih, ya." Wajah Rangga berbinar, panggilan telepon tadi dimatikan, dan pesan Rangga tak lama masuk.
Aku segera mengganti pakaian ala kadarnya, dan memesan ojek melalui aplikasi daring.
Pukul 19.00 tepat, aku keluar dari pintu apartemen. Berjalan agak cepat melewati koridor yang selalu sepi. Ini bukan hal baru bagiku. Apalagi ini adalah weekend. Biasanya banyak penghuni apartemen yang berlibur ke luar kota, atau bahkan pulang ke kampung halamannya. Hanya aku yang selalu di sini setiap hari. Jarang berpergian dan hanya betah sendirian di dalam apartemen. Karena aku tidak punya rumah atau seseorang untuk dituju.
Lift terbuka. Ada dua orang yang berada di dalam lift, sepertinya penghuni lantai atas. Gedung ini memiliki 20 lantai. Aku berada di lantai 11.
"Lantai berapa, Mba?" tanya seorang pemuda yang berada tepat di depan pintu masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
HorrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...