47. Haris

89 22 6
                                    

"Eum, iya. Dia mantan pacar aku, Pa. Tapi apa itu sebuah masalah? Kan hubungan kami sudah selesai lama."

"Nah dia orangnya! Kita nggak pernah tau apa yang ada di benak seseorang, Nes. Buat kamu mungkin semua selesai, tapi tidak buat dia." Kalimat Papa membuatku tersadar. Ternyata memang tidak semua hubungan yang sudah diakhiri akan berakhir dengan baik.

Haris adalah pacar pertama saat aku duduk di bangku SMP. Dia adalah anak OSIS, sekaligus atlet taekwondo. Memiliki wajah yang cukup tampan dan memiliki banyak penggemar. Hubungan kami terjalin singkat. Hanya sekitar satu bulan saja. Semua terjadi karena saat itu, aku memang tidak memiliki perasaan spesial padanya. Sekalipun dengan segala kelebihan yang dia punya, Haris tidak bisa membuat ku jatuh cinta. Aneh memang. Pasti banyak orang bertanya-tanya, bagaimana aku dan dia bisa menjalin hubungan.
Semua karena ketidak sengajaan.

2000

Aku baru menginjak bangku SMP. Masuk ke sebuah SMP negeri dengan slogan Taman Wiyata Mandala, memberikan kebanggan tersendiri bagiku. Di sekolah aku terkenal pendiam, tapi tidak jarang beberapa orang sangat ingin dekat denganku. Entah itu laki-laki maupun perempuan. Tapi aku hanya memiliki 3 sahabat dekat saja. Laras, Nadia, dan Tika. Hanya mereka yang kuanggap paling dekat denganku, juga selalu bersama-sama, baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Kelompok kami termasuk menonjol di sekolah. Nadia yang memiliki kulit gelap, karena sang ayah adalah warga negara Saudi Arabia, menikah dengan ibunya yang cantik, asli Indonesia. Nadia cantik, hanya saja tertutup kulit gelap, dan bagi orang Indonesia, gelap itu tidak cantik. Begitulah beberapa orang mulai merisaknya. Padahal dia sangat baik dan sangat setia kawan.

Tentu kehidupan anak SMP tidak lepas dari percintaan ala ala ABG. Di antara kami berempat, hampir semua memiliki idola dan fans tersendiri. Saat itu adalah masa class meeting. Suatu momen yang paling menyenangkan di sekolah. Selesai menempuh ulangan semester, kami memiliki banyak waktu luang di sekolah tanpa ada pelajaran. Beberapa ikut perlombaan yang diadakan sekolah.

"Ros, lihat tuh si Azis. Dia melirik ke sini terus," bisik Nadia sambil menatap ke ujung koridor, di mana ada tangga yang menghubungkan ke kelas di atas. Kelas kami ada di ujung satunya, dan kami sedang duduk santai di depan kelas.

"Kenapa nggak diterima aja, Ros? Bukannya dia naksir kamu, ya?" tanya Tika menanggapi.

"Iya, katanya. Lah dia aja nggak pernah bilang kok. Aku cuma kata temennya aja. Ih, nyebelin banget sih." Aku memang sedikit terganggu saat gerombolan Azis dan teman-temannya lewat atau muncul. Mereka selalu memanggil namaku, dan meneriakkan kalau salah satu teman mereka, Azis, menyukaiku. Tapi sampai sekarang bahkan Azis sendiri tidak pernah berusaha mendekati ku. Dia seperti seorang pengecut.

"Mungkin dia malu," tukas Laras.

"Iya tuh, bener juga. Dia malu sama kamu, makanya cuma berani gitu."

"Biarin aja ah."

Aku dan Laras pergi ke koperasi sekolah. Dia ingin membeli sesuatu yang memang hanya dijual di tempat itu. Rupanya Haris dan salah satu teman sekelasnya yang berjaga di koperasi. Koperasi sekolah memang dikelola oleh murid terpilih dan diawasi oleh salah satu guru pendamping. Di koperasi ada Haris, Agus dan Bu Sri.

Setelah Laras berhasil mendapatkan barang yang diincar, kami berempat duduk-duduk di taman dekat koperasi. Di hadapan kami ada lapangan basket, dan di sana entah dari mana asalnya, Azis dan teman-temannya justru sedang bermain basket. Beberapa kali dia selalu melirik ke arahku, dan itu memicu tawa dan ledekan teman-temannya, namun aku justru menjadi risih karenanya.

"Azis tuh, Ros! Wah, dia bener-bener caper, ya, ke kamu," tukasnya sambil terkekeh.

"Iya, heran deh. Kenapa sih dia gitu banget!"

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang