19. Satria diculik?

100 29 15
                                    

Dengkuran Rangga membuat mataku sulit terpejam. Sebenarnya bukan itu masalahnya, karena suara dengkuran itu justru membuatku lega. Karena aku tidak sendirian di kamar ini. Setidaknya jika sesuatu terjadi, sudah ada orang di sini yang siap bangun dan membantuku. Tidak perlu berlari keluar, mencari Raja, atau mungkin penghuni apartemen lain, yang belum tentu masih tinggal di gedung ini.

Malam yang hening ini, membuatku tidak nyaman. Biasanya hujan justru membuat tidurku jauh lebih nyenyak. Karena aku tidak menyukai suasana hening saat tidur. Tapi hujan tidak mau menyapa malam ini. Dengkuran Rangga bagiku belum cukup. Cerita dari Koh Rudi membuatku berpikir dan menimbang berbagai kemungkinan yang terjadi di tempat ini.

Waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Tapi samar-samar suara cekikikan anak kecil masih terdengar. Aku terus diam sambil menajamkan pendengaran. Sangat yakin kalau suara itu berasal dari halaman depan. Satria dan teman-temannya yang masih bermain, bahkan saat sudah tengah malam seperti sekarang. Kegaduhan itu membuatku makin tidak mudah terpejam. Alhasil aku duduk di ranjang, masih dengan selimut yang menutupi separuh tubuh. Melirik sebentar ke tempat Rangga tidur. Yah, dia tidur di lantai yang biasa kupakai menulis, dan letaknya memang dekat jendela. Yang membuatku heran, dia sama sekali tidak terganggu dengan suara gaduh di luar. Atau mungkin Rangga sama sekali tidak mendengarnya.

Sinar bulan masuk ke dalam kamar, lewat jendela yang kordennya tidak ditutup rapat. Dengan langkah pelan, aku turun dari ranjang, berusaha tidak menimbulkan suara apa pun, agar Rangga tidak terbangun. Kakiku mulai melompati tubuhnya yang tidur terlentang. Tangan kanan ia letakkan di atas dahi, Sehingga kedua kelopak matanya tertutupi lengannya sendiri.

Sampai di jendela aku menyibak korden dan mengitip keadaan di luar. Satria sedang berlarian ke sana kemari. Tentu dengan teman-teman tak kasat matanya. Ucapan Koh Rudi membuatku berfikir, apakah Satria anak biasa, atau sosok yang akan masuk dalam daftar makhluk aneh versi ku. Pak Seno selalu memiliki anak laki-laki yang diberi nama Satria. Pak Seno bahkan tidak pernah memiliki anak yang jauh lebih besar dari Satria, karena setiap beberapa tahun sekali, anaknya akan meninggal. Fase itu seolah akan selalu terjadi. Lalu, apakah Satria yang ini juga akan mengalami nasib yang sama seperti Satria-Satria sebelumnya? Jadi makhluk apa sebenarnya keluarga ini.

Aku tersentak, saat kakiku di genggam kuat. Saat menoleh Rangga meletakkan jari telunjuknya di depan bibir. Alih-alih aku diam, justru malah mengoceh padanya karena mengejutkanku. Rangga menarik tanganku.

"Diem dulu!" katanya dengan wajah serius.

Aku diam, menurutinya. Sambil menajamkan pendengaran jika ada suara aneh yang ku lewat kan.

"Kenapa sih?" tanyaku dengan berbisik.

"Lu nggak denger, ada suara besi yang dipukul-pukul?"

"Besi?" Aku kembali mencari suara yang Rangga maksud. Namun sama sekali tidak mendengar apa pun. Hanya suara cekikikan anak-anak di bawah.

"Tadi gue lihat sesuatu."

"Apa?"

"Manusia melayang di jendela. Dia pakai jubah gitu, dan bawa semacam tongkat besi. Apa itu yang selama ini elu lihat?"

Aku hanya mengangguk menjawab pertanyaannya. Lalu beranjak pelan, kembali mengintip jendela. Mencari sosok jubah hitam yang Rangga lihat.

"Ke mana dia?"

"Dari tadi, dia cuma mondar-mandir aja di luar. Masa elu nggak lihat, Ros?" makanya gue nutupin mata terus. Serem banget, Njir!"

"Jadi elu nggak tidur?"

"Enggak."

"Tapi kok gue nggak lihat, ya?"

"Makanya! Aneh. Tadi gue manggil elu, tapi takut ketauan."

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang