Sepertinya aku tersesat. Akhir minggu yang tadinya ingin ku habis kan dengan jalan-jalan agar merasakan liburan yang menyenangkan, pupus sudah. Seharusnya aku mengajak Yuna atau Ye Jun tadi untuk pergi bersama. Tapi entah kenapa aku lebih memilih pergi sendirian ke tempat ini.
Jeonju
adalah kota di Korea Selatan bagian barat. Daerah ini dikenal karena Jeonju Hanok Heritage Village, sebuah area rumah-rumah tradisional, toko-toko kerajinan dan kedai makanan.
Aku tertarik dengan tempat ini karena menampilkan wisata pedesaan khas Korea. Bukan hanya sekedar pemandangan gedung pencakar langit yang biasa aku lihat di tanah air. Aku memang berhasil sampai, karena memakai jasa perjalanan wisata dengan merogoh kocek yang cukup dalam. Tapi sesampai di tempat ini, kami dibolehkan berjalan-jalan sendirian, dan akhirnya aku tersesat.
Desa Hanok Jeonju tampak sama bagiku. Jalanan serta rumah-rumahnya tidak terlalu mencolok, dan membuatku terbuai hingga akhirnya aku tidak lagi melihat rombongan yang tadi bersamaku.
Aku terus berjalan, mencari kerumunan orang. Berharap dapat bertemu dengan rombongan. Sampai akhirnya, ada sekelompok pemuda daerah yang sejak tadi terus memperhatikanku. Aku segera mempercepat langkah, dan berusaha menghindari mereka. Lorong demi lorong yang berada di gang sempit rumah-rumah Hanok, membuatku makin kebingungan mencari jalan utama. Aku merasa mereka sedang mengikuti sejak tadi.
Jarak mereka denganku mulai pendek, aku berlari sambil menjerit minta tolong. Mereka mengejar ku dan membuatku makin histeris. Namun tiba-tiba, salah satu dari mereka jatuh tersungkur karena tendangan seseorang.
"Lee?" pekikku. Pria itu berdiri di depan, dan menghalau mereka menggunakan kungfu yang membuatku takjub.
Satu demi satu berhasil dilumpuhkan. Hingga akhirnya mereka kabur begitu saja meninggalkan kami.
"Bagaimana perjalanan wisata mu, Nona Indonesia?" tanyanya, mengulurkan tangan dan membantuku berdiri.
"Bagaimana kamu bisa berada di sini?" tanyaku heran.
"Aku? Tentu saja. Ini adalah tempat tinggal ku. Akhir pekan seperti sekarang, selalu aku habiskan untuk pulang ke rumah. Kamu sedang liburan?"
"Hm. Yah begitulah. Sampai akhirnya aku tersesat."
Lee terkekeh, ia lantas mengajakku pulang ke rumahnya. Tidak begitu jauh dari tempat kami bertemu tadi. Kini sebuah rumah luas khas pedesaan Korea tampak di depan mata. Sejak tadi aku hanya melihat pemandangan ini dari luar halaman, tapi sekarang bagian dalamnya membuatku melongo untuk beberapa saat. Sederhana. Klasik. Elegan. Hanya tiga kata itu yang mampu menjelaskan kondisi tempat ini.
Lee memanggil ibunya. Lalu seorang wanita yang sudah tua muncul dari dalam. Dia terlihat ramah. Bahkan aku dipersilahkan untuk ikut makan siang bersama. Makanan khas Korea sudah ada di depan mata. Selama ini aku sudah memakan beberapa makanan khas itu, tapi rasanya masakan rumahan terlihat lebih menggugah selera daripada masakan cafe dan restoran.
Ibu Lee sangat baik, dia menjelaskan masa kecil Lee hingga pernikahan putra semata wayangnya itu. Aku melirik ke pemuda di dekatku, karena baru tau kalau Lee sudah menikah.
Kami duduk di halaman samping rumah. Di mana ada gazebo kecil dengan hidangan pencuci mulut buatan ibu Lee. Matahari sudah bergeser dari tempatnya. Suasana sore hari di tempat ini membuatku rindu rumah. Rumah di mana tempatku dibesarkan. Di saat kedua orang tuaku, bahkan nenekku masih hidup. Sungguh menyenangkan membayangkan masa lalu tersebut.
"Jadi ... Kamu sudah menikah?" tanyaku.
"Hm, iya. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu, hanya saja tidak banyak orang tau tentang pernikahanku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
TerrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...