43. Teror ular

90 25 10
                                    

"Mandi dulu aja sana, Nes."

Aku masih sedikit terguncang saat kejadian tetangga samping kami yang ternyata bukan manusia. Memang bukan pertama kalinya aku melihat hal-hal seperti itu, tetapi tetap saja aku selalu merasa takut. Bahkan sekujur tubuhku terasa lemas sampai sekarang. Bang Haikal berusaha menenangkan ku, bahkan Iqbal terus saja mengajakku bergurau, walau tidak aku tanggapi sedikit pun.

"Iya, mandi sana. Sebentar lagi malam, Nes." Iqbal menambahkan sambil mencomot camilan yang sudah kami bawa dari rumah.

"Ya udah deh. Aku mandi dulu."

Tanpa berpikir dua kali, aku segera masuk ke kamar. Mengambil perlengkapan mandi lalu segera keluar.

Kamar mandi di sini memang ada dua. Kondisinya cukup bersih. Ada shower, kloset duduk, wastafel dan ember berukuran sedang yang berada di bawah kran air. Jendela di atas pun tidak hanya digunakan sebagai hiasan saja. Karena bisa dibuka dan ditutup. Hanya saja letaknya cukup tinggi, dan harus memakai alat bantu untuk menaikinya. Hanya saja hal itu sedikit mengganggu ku. Aku takut ada yang mengintip di luar sana. Walau kemungkinan itu kecil, karena aku yakin posisinya sulit dijangkau oleh orang biasa, kecuali dia memang berniat mengintip sejak awal.

Berkali-kali aku terus menoleh ke jendela di sana. Karena posisinya sedang terbuka. Memang lebih nyaman dibiarkan terbuka karena uap dari dalam cukup mengganggu dan akan membuat udara kamar mandi menjadi panas.

Aku mulai melepaskan pakaian satu persatu. Air shower menyala. Tubuhku terasa segar saat air ini menyentuh kulit. Sejenak aku dapat melupakan perasaan gelisah dan takut yang sempat aku rasakan tadi.

Sampo sudah menjadi busa di atas kepala. Perlahan kulit kepala kupijat merata. Tiap ruas rambut tak luput dari Pijatan ringan ini, tapi tiba-tiba aku serasa menyentuh jemari tangan lain, yang bukan tanganku. Aku langsung membuka mata, menjauh dari shower dan mencari cermin yang memang berada di dekat wastafel. Kepala terus aku periksa. Berharap apa yang terjadi tadi hanyalah halusinasi ku saja, dan memang tidak ada jari lain di kulit kepala. Sepertinya aku memang harus menyegerakan mandi kali ini. Aku kembali berjalan ke bawah guyuran air. Membilas busa yang masih menempel pada kepala dan tubuh. Masih sambil memejamkan mata, kembali aku merasakan sentuhan lain di kepala. Yah, ada beberapa ruas jari yang menempel di kulit kepalaku sekarang. Aku segera mendekat ke cermin, dan di sana aku benar-benar melihat dengan jelas. Sebuah tangan, hanya sebuah tangan sebatas pergelangan tangan, menempel erat di kepalaku. Aku lantas menjerit, dan berusaha melepaskan diri dari tangan tersebut.

"Ines! Ines! Kenapa?!" teriak seseorang dari luar. Aku tidak bisa bergerak untuk meraih gagang pintu. Hal pertama yang ingin aku lakukan adalah melepaskan tangan ini dari kepalaku.

"Ines! Ines! Gue cari kunci cadangan dulu!"

"Ros! Rosi! Kenapa? Hei!"

Kakiku terpeleset karena gerakan yang tidak terkendali. Aku jatuh. Bertepatan dengan itu, pintu kamar mandi didobrak kasar. Rangga masuk dan melihatku telanjang pada posisi tertelungkup di lantai. "Astaga!" Dia segera meraih handuk dan menutupi tubuhku. Buru-buru aku juga menutupi tubuh dengan handuk itu dan berdiri dibantu oleh Rangga. Tapi karena keseleo, dia segera membopongku keluar. Iqbal berlari tergopoh-gopoh mendekat dengan kunci ditangan kanannya.

"Loh, udah kebuka?" tanyanya heran.

"Gue dobrak!" Rangga segera membawaku masuk ke kamar, meletakkan ku di kasur. "Mendingan kamu pakai baju dulu!"

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang