"Serius? Nggak mau gue tunggu, Nes?" tanya Iqbal saat kami sedang dalam perjalanan ke kantor Dunia Sebelah.
"Iya, Bal. Takutnya lama. Soalnya gue ketemu teman-teman lama. Nanti pas balik, gue bisa pakai angkutan umum kok. Elu balik aja."
"Oke deh. Kalau ada apa-apa langsung kabarin gue, Nes. Nanti gue kena omel Papa kalau elu kenapa-kenapa!"
"Oke, Bos!"
Kami mulai masuk ke pelataran parkir sebuah gedung bertingkat. Tempat ini adalah sebuah redaksi majalah serta stasiun radio yang menjadi satu naungan, dengan tema mistis. Sebelum sampai tempat ini, aku memang sengaja membeli beberapa kotak donat sebagai buah tangan. Beberapa karyawan yang bekerja di sana, adalah kenalan ku, dan kami sudah lama tidak bertemu. Tentu aku harus membawa buah tangan untuk mereka.
Kedua tangan sudah penuh oleh kotak donat dengan brand ternama. Aku masuk dengan riang seolah tidak sabar ingin segera bertemu dengan mereka. Sampai lobi, ada seorang wanita yang memang berjaga di sana.
"Mau cari siapa, Mba?"
"Eum, saya Rosi, mau ketemu ... Indi," kataku sambil melihat sekitar.
"Oh, sebentar." Wanita itu mengangkat gagang telepon dan menghubungi orang yang dimaksud. "Oh, sudah ditunggu di lantai dua. Langsung naik saja," katanya menunjuk ke lift agar aku melanjutkan perjalanan.
"Oke, terima kasih, ya."
Beberapa karyawan terlihat hilir mudik, namun tidak satu pun dari mereka yang aku kenal. Sampai di depan lift, aku mulai berpikir keras menekan tombol dengan kedua tangan yang masih memegang box donat. Jika aku letakan di lantai, rasanya kurang sopan. Namun dengan posisi kedua tangan seperti sekarang, tentu sulit untuk banyak bergerak. Tapi tiba-tiba seseorang datang dan menekan tombol tersebut.
"Terima kasih," kataku lalu menoleh dan sangat terkejut saat melihat Rangga ada di sini. Apalagi dengan seragam yang hampir sama seperti sebagian orang yang berada di gedung ini.
"Rangga?! Kok kamu ...."
"Gue kerja di sini."
"Hah?! Sejak kapan?!"
"Hampir satu tahun lah. Mau ketemu temen-temen? Ya udah bareng aja," katanya lalu segera masuk lift. Aku pun hanya mengekor padanya dengan perasaan canggung.
Hanya kami berdua, dan itu justru menambah suasana tidak nyaman saat ini. Baik aku dan Rangga tidak saling membuka obrolan atau setidaknya bertanya sesuatu yang bahkan basa basi.
Rangga menoleh ke bawah. "Sini gue bantu bawa," katanya langsung merebut dua box donat di tanganku.
"Terima kasih." Hanya itu yang bisa ku ucapkan. Berharap pintu segera terbuka dan kami tidak lagi berduaan seperti sekarang. Jadi ini yang dimaksud Indi semalam.
Kami sampai. Pintu lift terbuka dan langsung menampilkan pemandangan kubik-kubik yang diisi oleh hampir semua orang. Ada yang duduk, mondar mandir, bahkan menjerit meminta sesuatu. Suasana ramai dan terlihat sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Aku dan Rangga berdiri mengamati mereka yang tidak sadar kehadiran kami. Sampai akhirnya Indi menoleh dan menjerit memanggil namaku. Dia segera berlari mendekat diikuti yang lain.
"Rosi! Rosi! Rosi! Akhirnyaaa!"
Mey berhambur memelukku, lalu ada Mpok Khusnul, Rahma, dan Mba Lilis.
"Ya Allah, Neng. Apa kabar? Gimana Korea? Betah?" tanya Mpok Khusnul langsung memberiku pertanyaan penting.
"Sehat, Mpok. Korea ? Yah, seperti itu. Masih banyak Oppa Oppa dan Ahjussi yang bening-bening."
KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
HorreurInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...