53. Musuh Lama

55 14 0
                                    

Kami semua diundang makan malam di sebuah cafe dekat kantor oleh Danielo. Dia mengadakan syukuran kecil-kecilan karena novelnya telah terbit dan menembus 300 eksemplar. Sebuah pencapaian terbaik sebagai seorang penulis. Dia juga akan mulai sibuk diundang ke berbagai acara, baik on air maupun off air, di seluruh Indonesia. Tentu ini sebagai salah satu ucapan selamat tinggal, karena dia akan cuti untuk beberapa bulan ke depan.

Kegiatan makan bersama memang sepertinya sudah menjadi agenda rutin mereka. Sebuah bentuk kebersamaan yang aku suka. Karena kami makin dekat satu sama lain, dan waktu kami bersantai menjadi lebih menyenangkan.

"Zal, cewek lo mana, nggak ikut?" tanya Mey, saat tidak melihat keberadaan Nida di samping Rizal.

"Iya, biasanya kalian tuh ibaratnya perangko sama lem. Nempel mulu. Bucin level akut emang!" sindir Indi.

"Nida udah balik duluan tadi. Nggak enak badan," kata Rizal dengan tampang lesu. Aku yakin ada hal lain yang terjadi, karena wajahnya tidak bahagia seperti biasanya. Dia banyak mendesah, menarik nafas dalam, lalu melamun.

"Yang sabar aja, ngadepin Nida. Kalau nggak kuat, tinggalin," cetus Rangga tiba-tiba.

"Ih, lo kok malah nyuruh dia putus sih! Kasih saran yang bagus dong, sebagai sesama orang yang udah pernah bersanding dengan Nida," tukas Mey.

"Dih, bahasa lo. Bersanding! Lah itu gue kasih saran terbaik. Kalau nggak kuat ngadepin Nida, mending tinggalin. Gue mah mending jadi jomblo seumur hidup, daripada harus balikan sama Nida," jelas Rangga dan berhasil membuat mood ku naik drastis. Itu artinya, Nida tidak akan menjadi kekasih Rangga apa pun yang terjadi. Tapi aku juga penasaran, kenapa dia bersikap seperti itu. Padahal Nida itu cantik, bahkan cantik sekali. Aku saja yang sesama wanita, bisa tertarik pada parasnya, dan sempat rendah diri pada mantan kekasih Rangga itu.

"Eh, Ngga, Nida itu emang gitu, ya, wataknya?" tanya Rizal terlihat tertarik.

"Gitu gimana?"

"Ya ... Duh, gimana ya, bingung gue ngomongnya," kata Rizal agak frustrasi.

"Nida itu manja. Manja banget. Lo itu nggak cuma berperan jadi pacar aja, tapi harus bisa jadi Ibu, Kakak, temen, karena dia itu emang dimanja banget sama orang tuanya dulu. Wajar sih, sebagai pasangan kita nggak cuma menjadikan diri kita pacar aja, tapi kalau untuk Nida, tarafnya harus lebih tinggi lagi. Ibaratnya nih, lo itu lagi pacaran sama anak SMP." Rangga menyeruput jus wortel miliknya sambil terus memberikan wejangan pada Rizal.

"Tapi, Ngga ... Dia juga masih suka jalan sama mantannya."

"Lah, lo pikir gue siapa? Perasaan lo fine-fine aja kalau dia gue anter pulang," kata Rangga, langsung melirik padaku.

"Beda, Ngga! Gue mah paham elo, tapi ini mantannya lain. Masa mereka pegangan tangan pas gue pergokin waktu itu."

"Yang mana sih?"

"Tama!"

"Oh dia."

"Lo kenal juga?"

"Enggak kenal, cuma tau. Intinya, nasehat gue cuma itu, Zal. Kalau lo kuat, lanjut, kalau enggak, tinggalin."

"Tapi gue masih sayang banget sama Nida, Ngga ...."

"Ya udah, lo terima konsekuensinya. Kalau dia memang 'akrab' sama mantan-mantan nya, terutama Tama itu," jelas Rangga menekankan kata akrab tadi. Sepertinya aku bisa mengetahui bagaimana karakter Nida, dan alasan mengapa Rangga tidak mau kembali bersama wanita itu.

"Duh, kesel gue!"

"Lah, bego lo, Zal! Mau-maunya digituin sama cewek! Emangnya cewek cuma dia dong apa di dunia ini!" timpal Indi.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang