58. Wanita bunuh diri

59 15 0
                                    

Ini adalah hari pertama setelah cuti yang bisa terbilang panjang bagiku. Aku dan Rangga kembali ke kantor, memulai aktifitas kami seperti biasanya. Sejak kemarin aku memang tinggal di apartemen Rangga hingga hari ini. Namun nanti aku akan kembali pulang ke rumah, karena Iqbal sudah kembali dari luar kota. Bagaimana pun juga, dia bagai satpam Papa di rumah untuk mengawasi ku. Tapi kami berdua sama-sama saling mengawasi dan melindungi sebagai kakak adik. Sementara Bang Haikal justru terbang lebih jauh lagi ke London. Bisnisnya berkembang pesat. Kabarnya dia hendak membuka sekolah Indonesia di sana.

Kami baru saja datang bersama-sama. Masuk lift yang penuh sesak, karena ini adalah jam masuk kantor, tentu banyak karyawan berdatangan. Aku dan Rangga menempati posisi tengah. Di belakang kami ada deretan karyawan dari lantai paling atas, di depan kami, campuran dari teman satu ruangan ku dan juga Rangga.

Dari kejauhan, aku melihat seorang wanita berjalan mendekat. Pelan, dan terus menatap kami di dalam lift. Anehnya wajahnya pucat, dia memakai pakaian ala ala kantor pada umumnya. Rok pendek selutut, kemeja putih di lengkapi dengan blazer hitam. Tapi yang membuat semua itu tidak wajar, adalah dia tidak memakai alas kaki.

"Din, tutup liftnya," bisik ku saat dia tengak-tengok mencari orang lain yang hendak masuk lift. Dinda menoleh padaku, lalu mengangguk.

Tapi tiba-tiba Andi, yang berdiri di samping Dinda justru menahan wanita itu.

"Kenapa sih?" tanya Dinda kebingungan.

"Itu kan masih ada yang mau masuk. Tungguin dulu. Lift berikutnya biasa nya lama. Lihat jam berapa nih. Telat absen bisa kacau, kan?" tanya Andi sambil menatap jam di pergelangan tangannya.

Dinda mengernyitkan kening lalu menoleh padaku. Dia menggerakkan kepalanya naik sekilas, sepertinya meminta penjelasan dari kata-kata Andi.

"Maksudmu siapa, Ndi?" tanyaku menepuk bahunya.

"Itu cewek! Mana cantik lagi," kata Andi. Aku menoleh ke Dinda dan Rangga.

"Udah biarin aja," sahut Rangga menanggapi, dan makin menggenggam tanganku erat. Sementara itu Dinda malah menekan tengkuknya dan menjauh dari Andi.

Dan benar saja, Andi menggeser tubuhnya agar seseorang yang dia yakini sebagai wanita cantik itu bisa masuk di antara kami. Aku makin mengeratkan tanganku memeluk Rangga. Melihat aku sedikit ketakutan, dia mengganti posisi kami, dan kini Rangga yang berdiri di dekat Andi, sementara aku berada di dekat dinding.

"Ros? Dia lihat siapa sih?" bisik Dinda dengan pertanyaan yang membuatku makin yakin kalau wanita yang baru masuk memang bukan manusia.

"Udah diem aja. Cuekin."

"Tapi dia berdiri di samping gue, bloon! Gimana nggak ngeri?" tanyanya dan berhasil membuatku mengulum bibir, menahan tawa.

"Kan elu nggak lihat ih. Gue yang lihat aja santai kok."

"Santai pala lu! Lu aja ngumpet di balik Rangga. Sialan!" Dinda kesal. Wajar di saat ketakutan seperti itu, dia menjadi sensitif dan pemarah. Apalagi posisi kosong yang Andi berikan, justru berada di antara Dinda dan Andi. Tentu saja Dinda beranggapan kalau wanita yang Andi lihat kini sudah berdiri di sampingnya.

Pintu lift menutup, dan membawa kami naik ke atas. Sampai di lantai kami, aku dan beberapa teman yang berada di ruangan itu keluar. "Duluan, ya," pamit ku ke Rangga. Dia hanya mengangguk.

Begitu keluar Dinda memukul lengan Andi dan terus mengoceh memarahi pria tersebut.

"Hah? Maksudnya? Setan? Masa sih?! Bohong ah!" kata Andi menanggapi penjelasan Dinda.

"Lo tanya sama mereka semua tadi, ada nggak cewek yang lo maksud? Cuma lo sama Rosi doang yang lihat! Gila lo! Diintilin setan baru tau rasa!" omel Dinda kesal, segera menarik kursinya dan duduk, masih sambil mengomeli Andi yang duduk di sampingnya.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang