60. Salah paham

51 14 0
                                    

"Eh, kalian udah denger belum? Gosip kalau Rizal deket sama Gladis?" tanya Mey berbisik saat kami makan siang. Sudah sekitar satu bulan Gladis bekerja di kantor kami, dan dia masih menjadi topik pembicaraan yang menarik.

"Serius? Kok bisa? Nida gimana?" tanya Indi penasaran.

"Nah itu! Mereka break! Dan sekarang Rizal deket sama Gladis. Yah, siapa sih yang nggak mau sama Rizal, kan? Dilihat-lihat ganteng juga itu anak," cetus Mey.

"Ganteng mana sama gue?" tanya Asep menanggapi.

"Elu ... Tapi dilihat dari ujung monas, pakai sedotan!"

"Awas lu ya. Nggak gue anterin pulang lagi!" ancam Asep.

"Cie. Udah saling antar jemput. Eh, lu nunggu di mana, Mey? Nggak takut?" tanya ku sengaja mencandai mereka.

"Di rumah lah. Kan yang punya body guard, dia, bukan gue. Gue mah nggak takut."

"Oh iya ya. Hati-hati, takut nanti ada drama mirip di sinetron," kataku.

"Lagian gue sama Asep nggak ada apa-apa kok. Santai aja."

"Hm, percaya," sindir Indi.

"Eh, laki lu mana, Ros?" Asep tengak tengok mencari Rangga.

"Eum, tadi masih di atas. Katanya gue suruh duluan. Masih ada kerjaan," sahutku santai. Aku selesai menikmati makan siang dan kini sedang membunuh waktu dengan es durian yang ku. anggap sebagai dessert.

"Eh, elu nggak takut, Nida balik ndeketin Rangga?" tanya Mey.

Aku tidak langsung menjawab. Namun ketakutan Mey memang beralasan. "Enggak. Aku percaya kok sama Rangga. Kami juga udah bahas masalah ini sebelumnya."

"Iya, percaya Rangga. Tapi Nida? Sadar nggak, Ros, kalau Nida sebenernya masih ada perasaan ke Rangga. Cuma emang Rangga nya yang cuek makanya dia pilih Rizal."

"Biar aja. Kalau macam-macam, nanti gue santet mereka berdua!" kataku menanggapi dengan gurauan.

"Padahal Rizal lumayan kok. Dia ganteng. Anak orang kaya. Kurang apa coba?" tanya Mey dengan wajah serius. Asep hanya meliriknya, dan terlihat menyimpan cemburu. Dia memang sudah berumah tangga, tapi kami tidak tau bagaimana kehidupan pribadinya, dan aku tidak mau ikut campur masalah mereka.

"Eh, kalau namanya udah nyaman, walau dia orang miskin juga tetep cinta kok," ujar Asep menanggapi sebagai perwakilan pria. "Iya. Kan, Ros?"

"Rangga nggak miskin amat loh, ya."

"Ya ini perumpamaan, Ros."

Aku hanya berdeham, lalu hanya mendengarkan diskusi mereka saja. Tapi kini justru aku mulai merasakan kecemasan. Perkataan Mey ada benarnya, Nida memang terlihat masih memiliki perasaan pada Rangga. Aku percaya Rangga, tapi tidak Nida. Sepertinya aku harus lebih perhatian dan sering menghabiskan waktu lagi ke Rangga. Apalagi beberapa minggu terakhir, aku dan dia jarang bertemu di luar, bahkan aku sudah tidak pernah menginap di apartemen nya. Hanya di kantor, itu pun tidak terlalu intens. Pekerjaan kami menuntut untuk segera diselesaikan, sehingga kami mulai lelah saat pulang kantor sore harinya, dan membuat intensitas pertemuan kami berkurang.

Sore ini Rangga pulang lebih cepat, sementara aku sedikit terlambat karena ada hal yang harus segera diselesaikan.

"Ros, belum pulang?" tanya Om Fendi, yang ternyata juga baru keluar ruangannya setelah beberapa dari kami pulang.

"Belum, Bos. Dikit lagi sih ini."

"Udah lah, buat besok aja. Mukamu itu udah capek banget. Mending pulang sekarang daripada sakit," sarannya.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang