"Masuk, Ngga," ajakku begitu pintu terbuka. Rangga mengucapkan salam dengan pelan, walau tidak ada yang menjawab.
"Duduk dulu, anggap aja di rumah sendiri. Aku ganti baju dulu, ya."
Apartemen milikku berjenis alcove studio. Apartemen ini memiliki bentuk L dengan dua ruangan terpisah. Salah satu ruang di apartemen ini berukuran lebih kecil dan digunakan sebagai kamar, ruangan yang besar melingkupi dapur, ruang tamu dan kamar mandi, akan menjadi satu. Sehingga privasi ku terjaga hanya di kamar saja.
Setelah memakai seragam ala ala rumahan, meliputi kaus lengan pendek dan celana leging pendek, aku segera keluar dan menyiapkan makan malam kedua untuk kami. Karena ternyata aku juga lapar lagi.
Rangga kulihat sedang duduk di sofa, dengan pigura di tangannya. "Itu anak-anakku," jelas ku tanpa mendapatkan pertanyaan lebih dulu.
"Kamu udah nikah? Atau malah udah cerai?"
"Cerai. Aku pernah nikah dua kali, dan semua gagal." Lemari di dapur kubuka, menyiapkan beberapa bahan yang sudah ku beli sebelumnya.
"Wow. Terus anak-anak ikut bapaknya?"
"Enggak. Anak-anakku meninggal. Karena kecelakaan."
"Oh sorry." Rangga meletakkan pigura itu ke tempat semula. Ia kini berjalan menyusuri tiap sudut apartemen milikku. "Enak juga, ya. Tinggal di sini, pemandangannya bagus dari atas. Pasti ini spot kamu nulis, ya?" tanyanya menunjuk sisi ruangan yang kubuat sendiri dengan meja kecil dan bean bag berbentuk bulat. Tentu ada laptop di sana, dan itu sangat mudah ditebak oleh semua orang, kalau di sana lah tempatku menuangkan imajinasi dalam bentuk tulisan.
"Ih pinter," kataku masih sibuk dengan memasak.
"Sejak kapan kamu tinggal di sini?" Rangga kini mendekat dan duduk di kursi depan meja makan. Aku yang berada di sisi seberang terlihat seperti seorang chef yang sedang memasak untuk pelanggannya dengan life show.
"Baru setahun lebih lah. Sejak aku cerai sama mantan suami."
"Oh," sahut Rangga mengangguk-angguk. Masih memperhatikan ruangan ini. "Terus kamu bisa lihat setan sejak kapan?"
"Eum, kapan, ya?" aku mulai mencoba mengingat hal tersebut, menghentikan aktifitas ku sejenak. "Kalau tepatnya ga ingat, yang jelas sejak aku mulai nulis horor. Aku mulai sering lihat hal-hal itu. Bahkan kadang aku sering nggak bisa membedakan mana manusia, mana makhluk gaib."
"Serius? Masa nggak bisa dibedain? Bukannya setan itu serem, ya?"
"Kata siapa? Memangnya kamu pernah lihat?"
"Ya belum sih, itu di film-film? Kan serem. Makanya orang-orang takut, kamu juga tadi di lift."
"Hehe. Ya ada yang serem, ada juga yang biasa aja sih. Kalau serem sih udah jelas, ya. Tapi kadang yang aku lihat justru sama seperti kita. Bahkan sering aku ajak ngobrol. Sadar-sadar kalau orang-orang mulai melihatku aneh. Atau kalau aku bercermin."
"Bercermin?"
"Iya. Mereka nggak akan bisa bohong di cermin. Jadi walau bentuk mereka bagus di sini, penampilan asli mereka bakal terlihat di cermin. Itu yang tadi aku lihat tentang Fifi."
"Fifi nya Nin?"
"Iya. Dia terlihat di cermin, walau samar."
"Wah, bisa begitu, ya."
"Nah, makanannya sudah siap. Yuk, kita makan."
_______
Aku sudah menyiapkan mangkuk mangkuk kecil untuk lauk yang ku masak tadi. Ada salad dingin yang memang sudah kubuat kemarin, biasanya kujadikan stok camilan setiap hari. Tumis kangkung, nugget, lalu tumis udang lada hitam, ditambah kimchi kemasan. Entah kenapa aku memasak menu cukup banyak kali ini. Padahal biasanya aku hanya makan satu menu saja.

KAMU SEDANG MEMBACA
Mirror : Death Note
TerrorInestia Rossi Sagala, mulai bisa melihat makhluk tak kasat mata sejak kecelakaan setahun lalu. Tak hanya itu, dia juga bisa mencium aura kematian seseorang. Dalam cermin, para hantu tidak akan bisa memanipulasi nya, karena bagi Ines, cermin tidak ak...