49. Pulang.

93 24 7
                                    

Papa dengan sigap terus membawa tubuh lemah ku pulang. Rupanya hutan yang kami lewati tidak begitu jauh dari rumah. Mama dan Mama Rangga terlihat menunggu di rumah, bersama Om Heri juga. Mereka terlihat cemas begitu melihatku berada di punggung Papa.

"Astaga! Ines kenapa, Pah?" Mama bertanya dengan panik, dia terus menyentuh ku saat Papa membawaku masuk ke dalam.

"Ines nggak apa-apa kok, Ma. Untung cepat ketemu. Biarkan dia istirahat dulu, ya." Aku lantas dibawa ke kamar, semua orang mengerubungi dan terus menatapku iba. Aku masih sadar sampai sekarang, hanya saja terlalu lelah untuk menjelaskan apa yang aku rasakan.

"Ini ketemu di mana?!" Mama bertanya sambil menatap mereka yang tadi ikut mencari ku.

"Rangga yang nemuin dulu. Dia udah duduk aja di tanah. Mirip orang linglung," jelas Iqbal.

"Kamu ke mana saja, sayang? Untung kamu nggak kenapa-kenapa," kata Mama kembali mengelus kepalaku. Dia juga memeluk serta mencium kening ku. Aku hanya pasrah.

"Ma, biarkan dia istirahat dulu. Ines masih trauma," jelas Papa.

Mama menatapku memelas. "Ya sudah, kamu istirahat dulu ya. Mama sama yang lain di luar. Kalau butuh apa-apa ...." Kalimat Mama belum selesai terucap, tapi aku justru menahan tangan Mama, lalu menggeleng.

"Aku nggak mau sendirian," kataku pelan.

"Oke. Mama temani, ya."

Bang Haikal mengajak Iqbal dan Rangga keluar, seolah ada hal yang hendak mereka lakukan. Papa dan Om Heri juga meninggalkan kamarku.

"Biar aku buatkan teh hangat buat Rosi, ya," kata mama Rangga ke Mamaku.

"Makasih, Nik. Sekalian kain dan air hangat, ya, buat badan Ines." Aku sadar tubuhku sedikit kotor. Terutama kakiku.

Mama menempatkan diri tiduran di samping ku. Terus memeluk dan membelai kepalaku.

"Maa...."

"Iya, Nes?"

"Kita pulang aja, ya. Aku udah nggak mau di sini," pintaku.

"Iya. Besok kita pulang. Kamu sehat-sehat, ya."

"Iya, Ma. Aku nggak apa-apa kok. Cuma masih kaget aja. Sejauh yang aku pikir, apa yang terjadi tadi itu di luar akal sehat aku."

"Kami juga panik, pas kamu tiba-tiba hilang. Semua orang langsung pergi keluar mencari kamu. Kamu dibawa ke mana sih, Nes?"

"Aku ada di gua, ternyata dekat sini aja, Ma. Di sana banyak banget kuntilanak nya. Aku takut banget, Ma. Aku bahkan berpikir kalau aku nggak akan bisa keluar, tapi ... Datang seseorang."

"Siapa?" Mama bertanya sambil menatapku penasaran.

Namun pintu kamarku dibuka, masuk Bu Nunik dengan secangkir teh. "Di minum dulu. Biar badan kamu hangat," katanya lalu duduk di pinggir ranjang.

"Makasih, tante." Setelah meminum beberapa tegukan, cangkir teh mama letakkan di meja nakas. Kali ini Tante Nunik tetap berada di kamarku.

"Siapa yang datang, Nes?" Mama masih penasaran dan kembali melontarkan pertanyaan yang sama. Mama juga mulai membersihkan tubuhku dengan kain basah. Rasanya untuk berdiri dan pergi ke kamar mandi, aku tidak sanggup. Mama terlihat sangat perduli padaku.

"Macam, Ma. Macan putih. Tapi ini bukan pertama kalinya aku ketemu dia. Aku nggak tau siapa dia, tapi tiap aku kesulitan, dia selalu muncul. Bahkan pas kejadian di rumah kemarin."

"Macan putih?" Mama terlihat berpikir keras. "Itu ... Sepertinya leluhur dari Papa kamu deh, Nes. Mama pernah dengar soalnya."

"Leluhur Papa?"

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang