22. Akhir Tragedi

84 30 6
                                    

"Astaga! Itu Raja! Gimana dong ini, Ngga!" pekikku panik. Rangga diam, menekan dahinya dan tengak tengok.

"Kita harus cari bantuan. Tunggu di sini sebentar, ya. Nggak apa-apa, kan?" tanyanya memegang kedua bahuku sambil menatapku dalam. Aku hanya mengangguk karena tidak tau lagi harus berbuat apa. Sementara Bang Cen tidak terlihat dari tempatku berdiri. Rangga pergi keluar dari halaman apartemen. Aku lantas tengak tengok ke sekitar. Rumah Pak Seno terlihat gelap. Bahkan kondisi semua kamar di tempat ini. Padahal lampu jalan nyala, yang berarti tidak mungkin ada pemutusan arus listrik di daerah ini.

Aku mulai merasa tidak nyaman, saat hawa sekitar berubah panas. Bulu kudukku meremang, dari segala penjuru kaca yang melapisi lantai satu apartemen, terlihat sosok-sosok yang mulai bermunculan. Ada begitu banyak makhluk di tempat ini. Beberapa aku mengenalnya, beberapa lainnya adalah wajah yang asing. Tapi sekelebat bayangan masa lalu muncul. Saat aku pergi ke pemakaman di belakang gedung ini. Tempat di mana penghuni apartemen yang meninggal dimakamkan. Ada beberapa makam yang memakai foto di tiap nisannya. Kini wajah yang aku lihat di nisan itu, terlihat.

Apakah mereka semua penghuni apartemen ini sebelumnya? Sebanyak ini, kah?

Klakson mobil terdengar tentu dengan sinar lampu jauh yang terang. Seketika semua sosok itu hilang.

Sebuah mobil bak terbuka masuk ke dalam dengan kecepatan tinggi. Lalu dia berhenti tepat di bawah Raja. Rangga keluar dari sana dengan Koh Rudi. Aku lantas mendekat.

"Ja! Turun aja!" jerit Rangga memberikan instruksi. Mobil ini berisi gulungan plastik tebal berwarna hitam.

"Ini? Apa?" tanyaku pada mereka.

"Lu tenang aja. Kalau si Raja jatuh, dia nggak akan mati," jelas Koh Rudi.

Dalam hitungan detik, Raja yang awalnya masih bergelantungan di atas, melepaskan pegangannya dan mendarat dengan mulus ke gulungan plastik tebal di depanku. Dia mengerang kesakitan, namun segera berdiri dan turun dari sana.

"Elu nggak apa-apa?" tanyaku cemas. Raja menggeleng sambil terus menatap ke atas. "Bang Cen mana?"

"Masih di atas. Gue nggak tau mereka lagi ngapain, tapi temen lu diem aja dari tadi. Sosok jubah hitam juga hilang. Tapi sosok lain mulai muncul dan ganggu gue. Bahkan mau bunuh gue tadi."

"Astaga. Bang Cen nggak boleh sendirian! Nanti dia kenapa-kenapa!" kataku yang hendak naik ke atas. Tapi Rangga segera menahan tanganku.

"Jangan, Ros. Buat keluar dari sana aja, kita kesulitan tadi."

"Tapi, Rangga ...."

"Iya, kita di sini aja. Soalnya temen lu bilang dia nggak apa-apa. Nanti dia balik soalnya dia nggak sendirian,"jelas Raja.

"Datu?" gumamku. Mendengar hal itu aku sedikit lega. Karena aku yakin Bang Cen akan baik-baik saja.

"Kalian dengar suara itu?" tanya Rangga. Kami diam, dan mencari suara yang dia maksud.

"SATRIA!" pekik aku dan Raja bersamaan.

Kamu akhirnya berpencar, guna mencari keberadaan Satria. Malam ini jika memang apa yang diceritakan Koh Rudi, dan Raja benar, maka Satria akan dikorbankan untuk para iblis itu. Pak Seno sungguh keji. Dia dengan tega melakukan hal itu hanya demi kenikmatan duniawi.

Aku dan Rangga mencari di rumah Pak Seno. Sementara Raja dan Koh Rudi mencari di belakang gedung, dan sekitarnya. Halaman belakang gedung memang tempat yang menarik untuk melakukan kejahatan. Karena di sana tidak ada penerangan sedikit pun. Sementara aku memilih rumah itu, karena beberapa kali aku merasakan kehadiran sosok anak kecil di dalam sana.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang