52. Hari pertama kerja

97 25 3
                                    

"Nah ini meja kerja kamu, Neng. Biar dekat sesama penulis, ya," kata Mpok Khusnul, merujuk pada teman samping ku, yaitu Danielo.

"Oke, makasih, Mpok."

"Kalau ada yang nggak paham, tanya dia saja," tunjuk Mpok ke pria di samping ku. "Bantuin, Nil."

"Iya, Mpok. Siap."

Ini hari pertamaku bekerja di sini. Tidak menyangka akan kembali ke tempat ini, dan juga makin dekat dengan Rangga.

Pria itu muncul dari lift, langsung menatapku, dan berjalan mendekat. "Ini naskahnya. Pelajari. Nanti siang, siaran sama gue!" Sebuah map dia berikan padaku.

"Naskah? Apa maksudnya?" tanyaku sambil membuka benda tersebut.

"Kita wawancara. Danielo juga kemarin beberapa kali diwawancara. Biar ganti suasana, nggak dia melulu. Gue tunggu setelah jam makan siang!" Rangga kembali berjalan ke lift dan pergi meninggalkanku yang masih sibuk dengan barisan kalimat yang ia buat.

"Dia buat kapan ini? Pagi-pagi udah kasih kerjaan aja."

"Biasanya Rangga memang bawa pekerjaannya ke rumah, Mba. Jadi hari ini dia sudah siap dengan materi yang akan dia kerjakan. Saya saja sudah lima kali dia wawancara dan ikut siaran. Untung Mba datang, jadi bisa gantian," jelas Danielo.

Setelah mendapat pengarahan dari teman sebelahku ini, aku mulai mengerjakan beberapa pekerjaan yang memang diberikan khusus pada kami. Bahkan ada setumpuk cerpen yang harus diseleksi untuk bisa masuk ke majalah esok hari. Semua pekerjaan ini menuntut segera diselesaikan hari ini juga. Karena setiap hari, akan ada hal baru yang harus dikerjakan nantinya.

Kepalaku mulai terasa berat, aku butuh udara segar sekarang. Sementara itu Danielo baru saja kembali ke meja dengan secangkir kopi panas. Yah, aku lupa kalau di sini disediakan mesin pembuat kopi. Mungkin lebih baik aku membuat kopi dulu sebelum kembali berkutat pada pekerjaan.

Kopi sudah siap, dan aku pun kembali ke tempatku. Tak lama aku kembali melihat Rangga muncul. Kali ini dia membawa sebuah kantung plastik. Sepertinya akan lebih sering untuk kami bertemu di sini, dia selalu muncul setiap satu jam satu kali ke ruangan ku. Kali ini dia kembali mendekat padaku. Aku yang sedang menghirup aroma kopi lantas menoleh.

"Sarapan dulu!" katanya meletakkan kantung plastik itu di meja. Dia pun segera pergi tanpa berkata apa pun lagi.

"Loh, Rangga!"

Penasaran, aku pun membuka kantung tersebut dan tercium aroma bubur ayam. Aku pun menarik kedua sudut bibir, dan segera menyantap makanan di hadapanku ini. Sungguh tidak menyangka kalau dia akan memberikan bubur ayam ini padaku. Perasaanku tidak menentu, kejadian semalam mengandung banyak arti. Terkadang aku berpikir kalau dia kesal, atau marah padaku atas semua yang telah kulakukan dulu maupun sekarang, tapi terkadang aku merasa dia masih sama seperti Rangga ku yang dulu. Rangga yang tidak bisa kutebak jalan pikirannya, Rangga yang sebenarnya menyayangimu tapi dengan cara yang berbeda. Dia unik, dan karena itulah aku menyukainya, tapi aku terus ingin tersenyum sekarang. Setidaknya aku ingin menikmati saja semua yang Tuhan berikan padaku, melalui sikap Rangga, baik yang menyenangkan ataupun yang menyebalkan. Tapi kemudian aku kembali memasang wajah datar saat ada seseorang yang mendekat.

"Maaf, Kak, tolong koreksi naskah ini, ya," pinta seorang wanita dan memberikan sebuah naskah yang cukup tebal padaku. Ini memang bukan kali pertama ada orang mendekat ke mejaku, selain Rangga. Aku dan Danielo, mendapat bagian sebagai editor cerita. Semua naskah yang masuk akan melalui seleksi kami.

"Oh, oke." Aku mulai memeriksanya sambil menyantap bubur ayam pemberian Rangga.

Judul naskah tersebut membuatku tertarik. "Keluarga Hantu." Walau dari judul dapat aku tebak bagaimana isinya, tapi cukup membuatku ingin membacanya lebih dalam. Judul ini pun mengingatkan ku pada sebuah cerita yang pernah aku baca sebelumnya. Sedikit mirip, tapi tidak sama tentunya. "Tetanggaku hantu." Mungkin akan sama inti ceritanya dengan cerita sebelumnya. Berjam-jam aku mengoreksi tiap halaman cerita ini, hanya ada beberapa kata saja yang terlihat janggal dan salah penempatan tanda baca. Selebihnya pemilihan diksi dan alur ceritanya cukup menarik bagiku. Tak terasa karena saking menariknya cerita ini, aku dapat berlama-lama menatapnya dan hanyut dalam cerita ini.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang