25. Menjenguk Ramon

88 25 6
                                    

[Aku mau ke rumah sakit, jenguk Ramon. Pergi sama Indi, ya.] Pesan itu aku kirim ke Rangga, saat jam makan siang. Seharian ini Rangga sepertinya sibuk dengan pekerjaannya. Karena sejak berangkat kerja tadi, dia belum membalas pesanku lagi.

Aku dan Indi kali ini hanya pergi berdua saja. Dia sedang libur kerja. Mimpi yang aku alami semalam cukup membuatku berpikir kalau Ramon memang dalam bahaya.

"Ini tempatnya?" tanyaku dengan pandangan yang tidak percaya.

"Iya. Elu nggak pernah masuk RSJ ya?"

"Pertama kali."

"Nah, makanya, cocok elu ajak gue. Gue kan mantan pasien. Hahaha." Tawa Indi terdengar lepas, tapu justru membuatku iba.

Maksud dari perkataannya, bukanlah karena dia pernah menjadi salah satu penghuni di tempat ini, tapi dia hanya datang untuk konsultasi. Kehidupannya tidak semulus kelihatannya. Banyak orang di sekitarnya yang justru menjadi sumber masalah pribadinya. Hingga dia mengalami depresi. Entah sudah berapa kali aku mendapat pesan bunuh diri dari Indi. Biasanya setelah dia berpamitan, Indi akan menghilang begitu saja, namun akan kembali setelah beberapa hari. Dia juga masih mengkonsumsi obat-obatan anti depresan. Namun, terkadang obat yang seharusnya bertujuan untuk kesembuhannya, justru menjadi alat untuk dia mengakhiri hidup. Tapi dimata orang lain, Indi dikenal sosok yang riang. Tapi jauh di lubuk hatinya, dia sakit.

Kami berjalan menyusuri koridor, setelah bertanya pada bagian pendaftaran di bagian depan. Ruang inap tempat Ramon dirawat terletak cukup jauh dari jalan utama tadi. Beberapa kali pemandangan tidak biasa kami lihat. Aku yang memang baru pertama kali datang ke tempat seperti ini, cukup terkejut. Beberapa pasien justru dibiarkan berkeliaran. Tapi banyak juga perawat yang berpatroli di sekitarnya. Hal yang aku pikirkan sebelum datang ke sini, adalah semua pasien akan di tempatkan di kamar masing-masing dan dikunci. Hm, sepertinya aku salah menafsirkan tempat ini.

"Ruangan apa tadi?" tanya Indi sambil tengak tengok.

"Bougenville 5."

"Bougenville ...," gumamnya dengan jari telunjuk berputar ke segala arah, "nah ke sana!"

Sebuah papan nama menunjuk ke lorong lain. Kami harus terus berjalan untuk sampai ke tempat itu. Saat sampai di lorong Bougenville, aku berhenti. Tempat ini ... Tempat yang sama seperti yang ada di dalam mimpiku semalam. Indi yang menyadari sikapku, menghentikan langkahnya dan berbalik.

"Heh! Malah bengong. Ayo, buruan! Tuh di sana!" katanya sambil menunjuk sebuah ruangan besar.

Yah, ini sama persis seperti yang ada di mimpiku. Letak ruangannya, setiap detil pemandangan taman serta warna temboknya. Semua sama.

Indi kembali melangkah lebih dulu, saat melihatku mulai kembali bergerak. Tapi gerakkan ku tidak sama seperti sebelumnya, hanya berjalan pelan, sambil terus mengamati ruangan yang akan kami tuju.

"Tuh, Ramon," tunjuk Indi yang memang berjarak tiga meter dariku. Dia berada di jendela, di mana aku melihat Ramon dijambak lalu kepalanya dihantamkan pada kaca depannya. Aku berhenti di jendela, tempat yang sama, saat melihat pria di dalam menjerit sambil terus minta tolong.

Seorang perawat lewat, dia berbincang dengan Indi tentang kesehatan Ramon. Sementara aku terus memandangi pria itu dari tempatku berdiri. Setiap sudut ruangan Ramon tak luput dari pandanganku. Aku mencari sosok Lili yang disinyalir terus berada di sisinya. Yah, setidaknya itu yang aku lihat terakhir kali. Karena hal itu yang membuat Ramon mendekam di balik tembok ini.

Entah apa yang dibicarakan Indi dengan perawat pria itu, dia membuka pintu kamar Ramon dan mengajaknya keluar.

"Heh! Kenapa Ramon dibolehin keluar?" tanyaku dengan berbisik.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang