63. Nasib Rizal

63 16 0
                                    

Rumah besar itu porak poranda seolah terkena gempa dahsyat. Kondisi Rizal sudah stabil, bahkan dia sudah berganti pakaian dan kini terbaring di kamarnya ditemani Nida yang selalu berada di sisinya.

"Terus nasib Gladis gimana, Bang?" tanya Indi. Sosok hitam yang menyerang kami sudah musnah karena Bang Cen, Datu, dan macan putih itu.

"Kita lihat saja besok."

Malam semakin larut. Kami pun pulang ke rumah masing-masing. Sementara itu Nida tetap tinggal merawat Rizal.

Mey pulang di antar Asep. Itu bukan hal aneh lagi bagi kami. Indi pun sudah di jemput Raja. Bang Cen memutuskan tinggal sebentar, untuk menyelesaikan sisa pekerjaannya. Entah apa lagi yang akan dia lakukan, tapi aku dan Rangga sudah lelah sekali. Kami pun pamit padanya.

"Mau pulang ke mana?" tanya Rangga.

"Eum, ke rumah aja ya. Nggak apa-apa, kan? Aku capek banget. Pengen langsung tidur."

"Ya nggak apa-apa. Lagian dari sini memang lebih dekat ke rumah kamu. Kita pulang ya."

Aku terus memeluk Rangga dari belakang. Memejamkan mata, walau tidak tertidur. Hanya mengistirahatkan nya saja. Indera penglihatan ku terasa panas, semoga ini bukan pertanda demam sepeti yang biasanya. Jalanan masih cukup ramai. Bagaimana pun juga ini Ibukota, bahkan sampai tengah malam pun, pasti masih ada aktifitas manusia di jalanan seperti ini.

Motor Rangga berhenti, saat aku mengintip, kami sedang ada di perempatan jalan besar. Terjebak lampu merah, di sisi kananku ada toko elektronik yang masih buka. Memamerkan tv layar datar yang dipajang di depan etalase toko. Berbagai siaran menjadi tontonan sekilas pada pengendara seperti kami. Drama Korea, Sinetron, dan berita terkini. Aku lantas makin mengeratkan pelukan. Kini malah bersembunyi di balik leher Rangga, menghirup aroma tubuhnya yang khas.

"Yang... Shh. Jangan sampai aku bawa kamu ke apartemen ku ya."

"Hehe. Iya iya. Habisnya nanti aku kangen. Aku kan suka bau tubuh kamu."

"Jadi pulang ke rumah nggak nih?"

"Jadi, sayang. Besok weekend deh, aku nginap di apart kamu, ya," kataku lalu duduk tegak.

"Oke."

Leher memang salah satu bagian sensitif.  Jika saja aku terus melakukan hal tadi, aku yakin Rangga akan berbalik arah dan membawaku ke apartemennya.

Sampai rumah, Iqbal sudah ada di teras bersama beberapa temannya. Rangga mengantarku sampai depan halaman saja, karena dia memang tidak berniat mampir, hari juga sudah semakin malam. Aku yakin dia juga lelah.

Suara klakson motor Rangga, seolah sebagai tanda sapaannya untuk Iqbal.

"Yo, Ngga! Hati-hati!" jerit Iqbal sambil melambaikan tangan.

Rangga pun meninggalkan rumahku, aku pun masuk.

"Lo dari mana, Nes? Lusuh banget? Nangkap setan mana lagi?" tanya Iqbal.

"Panjang ceritanya. Gue capek banget, mau mandi terus tidur," sahutku lalu segera masuk ke dalam. Sekilas aku menatap teman-teman Iqbal. Mereka adalah teman saat dia kuliah dulu, karena ada Regi yang paling ku kenal, karena dia yang paling sering datang ke rumah. Tapi ada satu orang yang membuatku sedikit terganggu.

Pria dengan kemeja biru dengan sweeter yang disampirkan di bahunya, tampak tidak biasa. Dia menatapku dalam, namun membuatku bergidik.

Mandi adalah hal pertama yang ingin aku lakukan begitu sampai di rumah. Guyuran air dari shower seolah membuat seluruh penatku hilang. Air dingin membuat tubuhku kembali segar. Tak butuh waktu lama, setelah selesai mandi aku yang hanya memakai kaus lengan pendek dan celana legging selutut keluar kamar untuk membuat segelas susu. Hidungku terasa gatal, dan beberapa kali aku bersin karena memang agak sensitif jika terkena air atau udara dingin, apalagi ini sudah hampir tengah malam.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang