7. Bang Cen

108 28 2
                                    

"Ros? Rosi? Lu nggak apa-apa?"

Mata masih tertutup rapat. Tapi telingaku mampu mendengar semua suara di sekitar. Aku sangat hafal sekali suara ini, wanita cerewet yang sering sekali mengusik hariku, terutama saat malam hari. Terkadang dia punya panggilan kesayangan untukku. "Emak demit! Awas kalau nggak bangun, gue ceburin got lu, ya!" Baru saja aku menebak siapa wanita itu, dia sudah melancarkan ancaman mematikan.

Aku mulai mengerjapkan mata. Perlahan membuka kelopak mata yang sebenarnya masih terasa lengket. Tubuhku mulai terasa sakit. Tapi suara ini lebih menyakitkan telinga.

"Iya iya. Bangun ini. Berisik banget sih!" rengekku. Indi sudah duduk di samping ku dengan Nita. Mereka menatapku cemas dan raut kebingungan.

"Lu kenapa sih, Mak?" tanya Nita.

"Kenapa apanya?" tanyaku balik, berusaha kembali duduk. Rupanya aku sudah berada di apartemenku. "Kok gue di sini?"

"Pertanyaannya salah! Kenapa elu pingsan di tangga darurat?!" tanya Indi sedikit menaikkan nada bicaranya.

"Oh jadi tadi beneran, ya? Pantes badanku sakit semua," kataku sambil memijit kedua lenganku sendiri.

"Ada apa sih, Ros? Gue dengar dari Rangga semalem elu luka-luka? Kenapa?"

"Rangga bilang apa? Ya itu pasti bener."

"Dia bilang elu di ganggu setan. Tapi dia cerita sambil ketawa. Emang bocah sarap!"

Aku ikut terkekeh geli, membayangkan apa yang mungkin Rangga ceritakan pada Indi.

"Tapi ini apart lu ... Kotor banget!" Nita menunjuk lantai dengan bercak kotoran berbentuk jejak kaki. "Abis main di got mana sih lu, Mak? Jorok banget!"

"Enak aja! Bukan kaki gue, kunyuk!"

"Terus?"

"Udah dibilang demit, Nita! Kan tadi gue bilang!"

"Lah kan elu baru nanya, belum menyetujui statemen itu?"

"Gue yakin sih iya. Si Rangga aja yang gila! Masa dia bilang katanya Rosi luka-luka. Abis digrepe-grepe setan! Kurang ajar nggak tuh! Habis itu ketawa lagi tu orang! Belum aja gue tampol!" Kalimat ini justru membuat ku tertawa lepas.

"Si kunyuk malah ketawa! Bener nggak sih? Gue tanya loh ini, Ros! Setan mana yang gangguin elu?"

"Oke oke. Santai dong, Indi. Yang di bilang Rangga kurang lebih sesuai yang gue alami, kecuali yang di grepe-grepe," jelas ku berusaha menahan tawa.

"Terus elu diapain?" Nita menjadi penasaran.

"Gini-gini, ada sesuatu memang di apartemen ini, dan intensitas kemunculan mereka mulai sering. Mereka juga sedikit agresif, bahaya banget sih ini. Gue aja takut kalau harus naik lift sekarang."

"Lift?" tanya Nita dan Indi bersamaan. Mereka juga saling pandang dengan ekspresi yang tidak bisa kutebak.

"Kenapa muka kalian gitu?"

"Itu setan, ibu-ibu?" tanya Indi. Aku pun mengangguk sekali. "Bajunya basah?" tanyanya lagi. Aku menjawab dengan anggukan lagi. "Anjir!" umpatnya.

"Kenapa? Udah ketemu? Bagus deh!" tukasku lalu tertawa puas.

"Si kunyuk malah ketawa!" tampik Indi.

"Biar nggak cuma gue aja yang diganggu, Say." Aku beranjak meraih ponsel di meja.

"Beneran tadi elu nggak lihat, Nit? Ibu-ibu di samping elu?" Indi bertanya, dan mereka akhirnya terlibat diskusi dalam tentang apa yang baru saja mereka alami.

"Eh, ngomong-ngomong yang bawa gue ke atas siapa?" tanyaku setelah mengingat hal tersebut. Tidak mungkin mereka membawaku berdua saja.

"Rangga!"

Bel pintu berbunyi. Nita segera berlari kecil dengan menjerit. "Bentar, Ngga!"

"Kok dia di sini lagi? Perasaan tadi udah pulang?" tanyaku yang sudah dapat menebak siapa tamu kali ini.

"Nah itu, dia nelpon elu, nggak diangkat juga. Terus kami tadi ketemu di depan. Katanya dia ada urusan sama elu, jadi balik lg. Soal Neneknya gitu katanya. Eh malah nemuin ente tidur di bawah tangga darurat. Kita itu udah sampai sini loh, Ros, tadi. Elu nggak ada. Sampai cek ke cctv. Elu mirip orang gila di cctv. Sumpah."

Tak menanggapi perkataan Indi, aku berjalan menuju dapur. Rasanya sangat haus.

"Udah siuman anda?" tanya Rangga begitu masuk. Dia tidak datang dengan tangan kosong, tetapi ada beberapa kantung plastik di kedua tangannya.

"Apa tuh?" tanyaku.

"Makanan. Lapar, kan? Habis melakukan adegan dramatis dikejar setan?" Rangga meletakkan apa yang ia bawa di meja, lalu Nita serta Indi segera membukanya.

"Wah, enak nih."

Kami akhirnya menikmati makanan yang Rangga bawa. Sore ini cukup mendung, walau belum turun hujan. Suasana terasa lembab dan dingin, membuatku harus memakai sweater agar tidak masuk angin.

"Ngomong-ngomong ada angin apa lu beliin kita makan?" tanya Nita menyelidik. Rangga melirik sambil menatap kami semua bergantian.

"Bener juga! Ada udang di balik rempeyek nih kalau elu baik gini!" tuduh Indi menghentikan makannya.

"Buruk sangka mulu lu berdua! Harusnya bersyukur dikasih rejeki! Malah menuduh yang tidak-tidak. Itu sangat menyakiti hati saya, asal anda semua tau, ya!" kata Rangga dengan gaya khasnya.

"Halah! Ngaku aja deh lu! Atau jangan-jangan ini makanan beracun, ya?"

"Gila lu kalau fitnah. Lu pikir gue psikopat! Kebanyakan nonton film korea lu!" tunjuk Rangga ke Indi.

"Daripada elu, kebanyakan nonton film bokep!"

"Itu sih kebutuhan! Oh iya, Ros, makan dong. Habisin. Atau mau gue pesenin lagi? Kan elu habis kehabisan energi, butuh asupan, kan?"

"Heh! Kunyuk! Lu kesambet setan mana? Tiba-tiba baik sama temen gue! Elu lagi pedekate sama Rosi?!" tuduh Indi.

"Astagfirulloh haladzim! Elu mah, ya. Jahat banget otaknya, ndi! Gue baik salah, gue nyebelin salah. Maunya gue gimana?"

Pertikaian mereka seakan tak kunjung usai, aku dan Nita hanya menjadi penonton sambil menikmati makanan kami.

"Rangga?" panggilku dengan pelan.

"Iya, Cinta?" sahutnya, dan langsung mendapat pukulan dari Indi yang duduk di sampingnya. "Bercanda ih!" sahutnya menatap teman di sampingnya. "Iya, Rosi?"

"Gimana kabar, Nin?"

"Nah itu yang mau gue bahas! Cakep banget indera kepekaan anda, wahai saudara wanita!" Rangga justru duduk mendekat padaku.

"Kenapa? Sekarang makin parah?"

"Parah banget sih, Ros! Nin aneh banget hari ini. Gue aja yang tadi baru sampai rumah, langsung pergi lagi. Soalnya tiba-tiba sikapnya makin parah."

"Parah gimana?"

"Kayak bukan Nin gue!"

"Iyalah, lah itu malah Nin di sini," tunjukku ke belakang Rangga. Mereka semua menatap ke arah yang kutunjuk.

"Jangan ngadi-ngadi elu, Ros!" tukas Indi.

"Merinding gue!" Nita ikut menimpali.

"Maksudnya gimana?" Rangga kebingungan.

"Sebentar. Gue kabarin temen dulu."

Akhirnya aku mulai menscrool nomor salah satu teman, dan melakukan panggilan telepon. Dia adalah salah satu orang yang akan ku kejar jika menyangkut makhluk tak kasat mata. Dia juga orang yang biasanya akan kujadikan tempat bertanya dan meminta pendapat tentang makhluk tak terlihat.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang