9. Di balik tabir

102 27 2
                                    

Kami bertiga berlari keluar menuju pos satpam. Aneh sekali. Mengapa Indi justru ada di sana, padahal jelas-jelas dia bersama kami sampai saat dia diseret masuk kamar mandi.

"Mana, Pak? Teman saya?" tanyaku begitu sampai di depan pintu pos jaga satpam apartemen.

"Itu," tunjuk pria paruh baya tersebut.
Indi duduk dengan wajah pucat. Dia banyak diam, tidak seperti biasanya. Ada sebuah selimut yang menutupi tubuhnya. Kami pun mendekat.

"Astaga! Lu kenapa bisa di sini?"

"Ndi ... Indi ... Are you oke?"

"Mending bawa balik dulu aja, yuk. Kasihan."

Kami akhirnya kembali ke atas, tentu dengan minta ditemani Pak Satpam. Teror tadi sungguh mengerikan. Malam ini, kami semua tidur di sofa. Kejadian tadi adalah hal terakhir dari teror malam ini. Sementara Indi banyak diam, dia hanya bilang kalau tidak ingin membahas hal ini dulu.

.
.
.
.

"Bye, Rosi! Nanti kita balik lagi."

"Oke. Hati-hati kalian." Kulambaikan tangan pada mereka, dan melepas kepergian sahabat-sahabatku tersebut. Mereka punya kehidupan dan kesibukan masing-masing. Jadi aku tidak bisa memaksa mereka untuk tetap berada di sini.

Pukul 10.00 aku bergegas mandi. Selanjutnya ingin melanjutkan mengetik. Karena kejadian semalam terpaksa aku berhenti mengetik. Padahal aku sedang dikejar deadline akhir bulan ini.

Rambut yang masih basah, kugelung dengan handuk. Sambil menunggu kering, aku membuat secangkir latte dan mulai membuka laptop. Saat hendak mulai mengetik, ponselku bergetar.

[Ros, masak apa?]

Aku mengernyitkan kening saat melihat sang pengirim pesan. Rangga?

[Belum masak apa-apa. Soalnya belum jam makan siang. Kenapa?]

[Sejam lagi jam makan siang loh. Buruan masak.]

[Ih, kenapa lu yang heboh?]

[Sekarang masak, jadi nanti gue mampir tempat lu, makan siang di sana. Gue bawain es teh manis deh. Oke?]

[What?!]

[Nggak usah terharu gitu, Ros. Anggap aja sebagai ucapan terima kasih gue, karena udah diajak makan siang bareng. Oke? Gue sejak lagi datang, ya. See you.]

[Heh! Rangga! Enak banget sih nyuruh-nyuruh gitu?!]

Tidak lagi ada jawaban dari pemuda tersebut. Aku terus menyerocos kesal atas sikap Rangga yang suka seenaknya. Tapi tetap saja, aku berjalan ke dapur untuk membuat makan siang.

"Es tehnya datang," seru Rangga begitu pintu kubuka. Aku hanya mengangkat sebelah alis dan membiarkan dia masuk dengan wajah bahagia. "Masak apa siang ini, Ros?"

"Lihat aja di meja makan."

Seakan apartemen sendiri, Rangga dengan santai langsung berjalan ke meja makan dan membuka tudung saji.

"Wah, enak nih. Lu tau aja kalau gue suka seafood. Yuk, makan. Sini. Sini. Duduk," kata Rangga lalu menarik kursi di samping nya agar aku duduk di sana. Aku tetap mengikuti apa yang dia suruh walah dengan tatapan jengkel.

"Mau gue ambilin nasi?" tanyanya dengan antusias. "Oh, ambil sendiri? Oke. Gue makan nih, ya," katanya menjawab pertanyaannya sendiri. Padahal aku belum menjawab apa pun.

"Rangga ih! Nyebelin!" seru ku sambil memukul lengannya. Dia malah tertawa sambil menyendok nasi, tapi tiba-tiba dia malah menyodorkan sendok tersebut ke mulutku. Otomatis aku membuka mulut dan menerima suapan pertama dari Rangga.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang