15. Desi

90 28 2
                                    

"Ros, elu betah di sini?" tanya Rangga sambil menyuap mie instan ke dalam mulutnya. Dia terus menggerutu meminta dibuatkan makanan. Sementara aku sedang malas memasak. Jadi alternatif terbaik adalah mie instan.

"Eum, gitu deh," kataku, menopang dagu dan menatapnya yang asyik makan.

"Gitu deh? Maksudnya? Iya atau enggak?"

"Sebenarnya aku betah-betah aja sih. Cuma kadang ...," jelas ku menggantung sambil menatap sekitar, Rangga pun mengikuti ke arah yang kutatap.

"Kenapa? Ada setan? Ah elu, di mana mana, kan, emang ada setan kali, Ros? Kan udan ada di Al Quran. Manusia dan jin diciptakan hidup berdampingan. Di kitab agama lain juga sama." Kuah mie ia seruput sehingga menimbulkan suara riuh.

"Iya, tau. Tapi kali ini lain." Aku lantas merebahkan kepalaku di meja. Rangga menuntaskan kegiatan makannya, mengelap mulut dengan tissue dan bersiap melanjutkan diskusi ini. Biasanya akan ada perdebatan sengit di antara kami. Dia yang sedikit skeptis dengan makhluk tidak terlihat, sementara aku yang selalu berhadapan dengan makhluk-makhluk itu.

"Lain gimana?"

"Ada sesuatu yang lain, dan belum pernah gue lihat sebelumnya."

"Setannya maksud lu?"

"Hm, gue nggak tau harus menyebutnya apa."

"Memangnya kenapa?"

"Udah ah, nggak usah dibahas! Males!"

"Ya ampun, baru mau mulai diskusi."

"Diskusi apaan? Debat, iya!"

"Nah itu yang namanya diskusi. Elu sampaikan pendapat elu, gue sampaikan pendapat gue. Nah, kalau menemukan perbedaan kita bahas bareng. Gitu, kan?"

"Tapi nanti ujung-ujungnya kita malah berantem."

"Nah kalau itu kan udah biasa." Rangga lantas tertawa lepas. Ekspresinya membuatku kesal tapi dalam hati ingin ikut tertawa juga. Bagiku setiap melihat dia tersenyum, seolah aku ikut terseret dalam pusaran bahagia yang ia ciptakan sendiri.

Jam sudah menunjukkan pukul 24.00. Rangga masih berada di apartemenku, memainkan gawai di tangannya. Aku juga masih sibuk mengetik bahan cerita duduk di sampingnya.

"Akhirnya!" seruku, merentangkan tangan ke atas lalu ke samping.

"Beres?"

"Beres dong."

"Bagus. Ya udah gue balik, atau enggak nih?" tanyanya membuatku berpikir keras.

"Eum, jangan dong, Ngga. Jangan pulang," rengekku sambil memeluk lengannya. Rangga memperhatikan tangannya sendiri lalu beralih kepadaku.

"Lah kenapa? Kan udah ditemenin sampai beres nulis? Terus pintu udah di benerin, si penjahat gila itu udah ditangkap polisi. Apa lagi yang bikin takut coba?"

Aku diam beberapa saat, lalu menatap sekitar. Rangga terus memperhatikanku. "Heh! Malah melamun! Kenapa gue nggak boleh balik? Oh, masih kangen?" ujarnya dengan pertanyaan yang segera membuatku melepaskan tangan. Tentu berakhir dengan tawa Rangga untuk kesekian kalinya.

"Iya! Masih kangen! Puas?!" sahutku dengan antusias.

"Ya udah yuk, tidur. Kasur nya luas, kan?" Rangga menarik tanganku dan aku langsung memukulnya.

"Rangga ih!"

.
.
.

"Ros, nyium bau busuk nggak?" tanya Rangga dengan hidung yang bergerak. Kepalanya pun mulai tengak tengok ke segala arah.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang