61. Bukan manusia

50 15 0
                                    

Pagi ini kami berangkat kantor lebih awal, karena semalam aku menginap di apartemen Rangga. Jaraknya yang dekat kantor membuat kami memiliki setidaknya 20 menit waktu luang sebelum jam kerja dimulai. Bahkan lift pun terasa lenggang saat kami memasukinya, karena hanya ada kami berdua. Untungnya tidak ada lagi sosok wanita yang biasa memasuki lift ini, atau mungkin belum waktunya dia muncul, ya. Tapi sepertinya Bang Cen telah membuat dia tersingkir dari gedung ini, karena aku tidak pernah melihatnya lagi dalam waktu yang cukup lama.

Kemarin kami berdua tidak jadi mencari Rizal, karena dia memang tidak bisa ditemukan di berbagai tempat. Di rumahnya, tempat nongkrongnya, sampai ke rumah teman-temannya, Rizal tidak nampak juga. Akhirnya semalam kami akhir pencarian pukul 22.00, Nida pulang sendiri, dan aku bersama Rangga kembali ke apartemen.

Pintu lift menutup, aku melingkarkan tangan ke lengan kekasihku. Dia menoleh dan tersenyum. "Kenapa?" tanyanya karena ini bukan sebuah kebiasaan ku.

"Nggak apa-apa. Kangen," sahutku sambil mendongak sedikit ke arahnya.

Tapi tiba-tiba Rangga menyentuh pipi lalu membuat wajah ku kembali mendongak. Dia mencium bibirku lembut. Matanya terpejam membuatku ikut memejam. Pintu lift terbuka, aku segera melepaskan ciuman kami.

"Ih, banyak orang! Aku kerja dulu. Bye, sayang," kata ku lalu mengecup singkat pipinya dan keluar dari lift. Sementara dia kembali naik ke atas sendirian.

Desas desus pertengkaran Rizal dan Nida mulai merebak di seluruh kantor. Apalagi dengan kemunculan Gladis yang di gadang-gadang sebagai pelakor. Semua orang makin intens menatapnya yang tidak berubah sama sekali sejak awal kemunculannya. Dia masih memakai pakaian mini, dan seksi, membuat beberapa orang yang melihat tidak ingin berpaling. Bahkan tidak hanya para pria, para wanita pun sama. Ada yang menatapnya kagum, ada yang menatapnya jijik.

Nida muncul dari dalam lift, keluar dan menyapu pandang ke semua ruangan di sini. Dia lantas mendesah, lalu saat melihatku, dia mendekat.

"Ros ... Rizal nggak masuk?" tanyanya. Otomatis aku pun menoleh ke meja Rizal.

"Oh iya, ya. Telat mungkin."

"Hm, bisa jadi."

Namun tak lama Rizal muncul, masuk ke ruangan dengan wajah lesu. Sepertinya dia sangat kelelahan. Bahkan cara berjalannya saja terkesan malas-malasan.

"Itu dia!" kataku menunjuk ke pemuda tersebut. Nida berbinar, lalu segera mendekat. Mereka terlibat perdebatan bahkan sampai membuat Rizal menarik paksa tangannya yang terus dipegang Nida. "Awas kamu! Pergi sana! Berisik banget tau!" jeritnya dan berhasil membuat seisi kantor menganga.

Sejak aku mengenal Rizal, belum pernah sekali pun melihat nya semarah itu pada orang lain, bahkan Nida, orang yang sebenarnya menjadi salah satu yang paling dekat dengannya di kantor ini. Rizal orang yang sabar, dan ramah. Tapi Rizal yang ada di ruangan ini sekarang bukan Rizal yang ku kenal.

Rahma mendekat ke Nida, berusaha menghiburnya yang sedang menangis. Sementara Rizal justru berjalan meninggalkan Nida tanpa ada rasa perduli sedikit pun. Beberapa orang terlihat geleng - geleng kepala. Pertengkaran pasangan itu sudah cukup lama terjadi. Mereka kerap bertengkar sejak kabar Rizal dekat dengan Gladis terendus. Setelah mereka bertengkar, penonton pun menatap Gladis yang seolah tidak perduli pada pertikaian pasangan sejoli tersebut.

Nida akhirnya dibujuk untuk kembali ke ruangannya yang berada di lantai atas. Rahma dan Lilis mengantarnya ke lift. Semua orang kembali pada pekerjaannya walau beberapa masih membahas masalah ini sambil bekerja.

Beberapa jam berlalu, semua kembali pada rutinitas, sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Mataku mulai lelah melihat monitor, hingga pada akhirnya aku mulai meregangkan kedua tangan ke atas. Membuat gerakan senam kecil untuk membuat tubuhku kembali relaks. Namun sesuatu justru tampak jelas di depan mata. Bukan sesuatu, tapi lebih tepat sesosok makhluk.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang