12. Apartemen Baru

101 27 4
                                    

Lantai tiga menjadi pilihanku. Banyak pertimbangan yang kuambil, salah satunya karena lantai ini paling banyak penghuni nyatanya. Lantai dua dan satu pun, sudah penuh penghuni. Tapi lantai empat dan lima memang jarang ada penghuni. Di lantai empat hanya ada dua penghuni lama, dan lantai lima hanya satu penghuninya.

"Sebentar lagi akan ada renovasi dari depan sampai belakang. Jadi Mba Rosi saya pastikan akan betah tinggal di sini. Kalau ada keluhan apa pun, bilang ke saya atau istri saya saja," jelas Pak Seno saat kami berjalan melewati tangga. Tidak ada lift di apartemen ini. Semua akses hanya lewat tangga saja. Tiap lantai ada 10 kamar apartemen. Di lantai tiga aku menempati kamar nomor 8. Pak Seno dengan sabar menceritakan tentang apartemen miliknya yang sudah dibangun hampir 30 tahun lalu.

Awalnya lahan ini bekas rumah sakit terbengkalai, dijual dengan harga murah karena bangkrut. Pak Seno membelinya dan merenovasi untuk dijadikan apartemen. Sempat ramai di masanya, karena belum banyak apartemen berdiri. Tapi kini karena kurangnya fasilitas memadai, letak apartemen juga jauh dari jalan utama. Terlebih lagi kondisi bagian luar terlihat menyeramkan, maka tempat ini pun perlahan sepi. Hanya beberapa penghuni lama yang masih bertahan. Karena harga sewanya paling murah.

Selesai naik lantai satu, kami lanjut ke lantai dua. Beberapa penghuni terlihat lalu lalang. Bahkan aku merasa kalau di lingkungan ini solidaritas sesama tetangga terlihat kuat. Berbeda sekali dengan apartemen yang kemarin aku tinggali. Di sini masih banyak orang yang saling sapa saat berpapasan. Bahkan aku melihat di lantai satu tadi, ada yang mengirim makanan untuk tetangga sampingnya.

Lantai dua terlihat lebih sepi. Koridor lantai ini juga memiliki pencahayaan yang kurang. Beberapa lampu mati. Entah rusak atau sengaja dimatikan. Aku tidak bertanya sejauh itu pada Pak Seno.

Sampai di lantai tiga, aku terus berjalan mengekor Pak Seno.
"Lantai ini hampir semua penuh, Mba. Cuma dua kamar saja yang kosong. Karena penghuninya pindah."

"Pindah kenapa, Pak?"

"Yang satu dapat pekerjaan di luar pulau, sementara yang satunya harus balik ke kampung. Katanya orang tuanya sakit."

"Oh."

"Nah itu kamar, Mba Rosi," tunjuk Pak Seno ke pintu ketiga dari ujung lorong.

Tiba-tiba pintu sampingnya terbuka. Seorang pria keluar dengan kantung plastik di tangannya. Hanya menatap aku sebentar lalu berjalan lurus ke tempat sampah di ujung lorong.

"Mas Raja, sudah pulang?" tanya Pak Seno basa basi.

"Baru aja. Jadi pindah lu?" tanyanya padaku.

"Oh kalian sudah ketemu?"

"Tadi di depan, Pak. Mas ini yang nunjukin saya rumah bapak," jelas ku.

"Oh gitu. Kebetulan ini. Nanti kalian bertetangga. Jadi kenalan dulu aja. Mas Raja, ini calon penghuni baru, namanya Mba Rosi. Nah, Mba Rosi ini Mas Raja, dia sudah tiga tahun tinggal di sini."

Raja hanya mengangguk padaku. "Semoga betah," katanya lalu kembali masuk ke kamarnya.

Aku dan Pak Seno sempat diam beberapa saat, melihat sikap dingin Raja. Sampai akhirnya pemilik apartemen ini segera membuka pintu kamarku dengan kunci yang ada di tangannya.

"Nah, silakan masuk." Lampu di nyalakan. Satu persatu keadaan ruangan ini terang. Ternyata tidak begitu buruk kondisi di dalam sini. Justru hampir sama seperti kamar di apartemen lamaku. Hanya saja ruangannya tidak begitu besar. Hanya satu ruangan yang cukup luas. Setelah membuka pintu, langsung disuguhi dapur mini yang lengkap dengan kompor, kulkas, oven, dan meja makan dengan dua buah kursi. Setelah dapur, langsung kamar. Kasur ukuran besar lengkap dengan seprei dan bedcover. Di depannya ada TV layar datar yang menempel di dinding dan meja belajar di bawahnya. Satu ruang terakhir berada di dekat jendela. Hanya sebuah ruang santai dengan sofa mini serta meja kecil. Cocok untuk bersantai. Kamar mandi berada di dekat ruang santai tersebut. Aku memeriksa semua ruangan.

Mirror : Death NoteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang