52.

8.2K 796 20
                                    

^^Happy Reading!!!^^
Jan lupa tinggalin jejakkkkk
.

.

.
❄❄❄

"

Jangan sakiti El lagi, Rey!" Sam tiba-tiba datang, menahan tangan Rey hingga menggantung di udara.

Refleks, Rey melepas jambakannya pada rambut Grace. Kemudian Nathan datang, langsung memapah gadis itu.

"Kau?!" Rey menunjuk tepat di depan wajah Sam. "Kenapa kau ke sini?!"

Sam menepis tangan Rey. Menatapnya tak kalah tajam. Ia tau, temannya itu dalam kondisi mabuk.

Ya, mereka adalah teman. Sam dan Rey adalah teman sedari SMA. Pertemanan mereka renggang karena sebuah kejadian yang melibatkan Nathan serta Grace.

"Bukankah kita sudah membicarakan ini baik-baik?" Kali ini Letta angkat suara. Dirinya juga membantu Jingga untuk berdiri.

Sedangkan Nathan mengernyit ketika mendengar itu. Membicarakan baik-baik? Apakah orangtuanya tau mengenai hal ini?

"Dulu kalian udah janji kan buat selalu jaga El dan nggak akan pernah ungkit soal ini lagi?" imbuh Sam geram.

Rey menatap tak terima pada Sam. "Ya, itu dulu!" balasnya disertai tawa sinis. "Dan sekarang ... aku menyesal telah memungutnya!"

Bugh!

"JAGA UCAPAN KAMU!" Sebuah pukulan telak mengenai wajah Rey. "KALAU KAMU TAK INGIN MERAWATNYA, BIARKAN EL IKUT BERSAMA KAMI!"

"Tunggu ...." Suara Nathan mengalihkan atensi mereka. "Jadi ... Ayah sama Bunda udah tau hal ini?" tanyanya tak percaya.

Mereka diam, tak berniat menjawab pertanyaan dari Nathan. Untung saja, saat ini Gina sedang menginap di rumah temannya. Jika tidak, mungkin ia akan menangis kencang sekarang.

"Ja-di, karena itu Papa Mama nggak pernah nyari El pas pergi dari rumah?"

Tetap tak ada jawaban dari mereka. Grace terkekeh miris dibuatnya.

Tatapan kecewa Nathan dan Grace layangkan. Kini keadaan berbanding terbalik, Nathanlah yang kecewa terhadap Sam.

Tanpa menunggu lama lagi, Nathan segera memapah Grace keluar. Menuju mobil dan melajukannya.

Isak tangis yang pemuda itu dengar membuatnya mengepalkan tangan pada stir mobil.

"G-gue anak pungut haha." Gadis itu menertawakan dirinya sendiri.

"Gu-e kotor, pembawa sial, g-gue anak yang nggak diharepin."

Cukup sudah. Nathan menepikan mobilnya mendadak. Menatap tajam gadis di sampingnya yang hanya menunduk dengan air mata terus mengalir.

"Bisa berenti bilang hal nggak berguna kayak gitu?!" desis Nathan penuh penekanan.

Gadis itu membalas tatapan tajam Nathan dengan tatapan sendunya. "Kenapa? Itu fakta kan?!"

Brak!

Suasana mobil tambah mencekam kala Nathan memukul kuat stir mobil. Wajahnya memerah, tangannya masih mengepal. Dirinya memejamkan mata untuk mengontrol emosi.

"Faktanya emang gue anak pungut! Gue cuma nyusahin mereka! Gue--"

"CHEL!" Kedua tangan pemuda itu mengukung Grace. Rahangnya mengeras, tatapannya semakin tajam. "Gue bilang jangan ngomong hal yang nggak berguna. Kurang jelas?!" lanjutnya penuh penekanan.

Grace membalasnya tak kalah tajam. "Kenapa? Lo malu punya sahabat kotor kayak gue? Bahkan gue nggak tau siapa orang tua kandung gue! Gue nggak tau siapa keluarga gue! Gue cuma anak yang nggak diharepin hmppp--"

Satu tangan Nathan membekap erat mulut Grace. Setiap kalimat yang terlontar dari mulit gadis itu membuat hati Nathan sakit. "Gue nggak peduli latar belakang lo atau apapun itu. Karena yang gue peduliin itu lo. Lo sahabat gue, lo adek gue. Gue rela korbanin kebahagiaan gue demi lo. Karena lo ... udah jadi sebagian dari hidup gue."

❄❄❄

Beberapa hari telah berlalu dan Grace menghabiskannya dengan memantau serta membantu perusahaan Papanya agar berada dititik aman. Tentu saja dia melakukan itu dari Markas.

Gadis itu bahkan sempat tidak tidur selama seharian penuh, membuat Nathan dan Raka kualahan menghadapinya.

Selama itu pula, Vita jarang muncul. Tidak dapat dipungkiri, perasaan Nathan pada gadis itu masih ada, dan perasaannya pada Grace tak ada perkembangan sama sekali.

Sore ini, Grace sedang diam dengan pandangan kosong di kasur kamarnya.

Lama melamun, ponsel Nathan berdering. Awalnya Grace hanya mendiamkannya saja, karena Nathan sedang berada di kamar mandi. Tapi, panggilan itu tak berhenti.

Melirik sekilas pada penelpon, ternyata Letta, Bunda Nathan. Gadis itu menggeser ikon telepon yang berwarna hijau tanpa mengambil ponselnya. Setelah panggilan tersambung, Grace menyalakan speakernya.

"Nathan? Kamu dimana?"

"..."

"Bunda tau kamu marah sama kita.  Bunda nggak mau El sedih karena tau kebenarannya. Maafkan Ayah dan Bunda ya?"

"..."

"Baiklah, nggap papa kalau kamu nggak mau jawab. Bunda cuma mau nyampein kalau ... Rey dan Jingga telah resmi bercerai. Jangan sampai El tau hal ini, Bunda harap, kamu bisa menjaganya untuk beberapa waktu."

Deg!

Tepat saat Letta mengucapkan itu, Nathan keluar dari kamar mandi. Raut mukanya sangat terkejut. Ia berjalan cepat menghampiri Grace dan mematikan panggilan itu.

"Nggak usah dipikirin ya?" ucapnya lembut kemudian hendak memeluk Grace, tapi gadis itu menahannya.

"Rara deketin Papa dengan alibi mau bantu perusahaannya, kita harus segera hentiin."

Nathan menghela nafas lelah. Grace tak menunjukkan kesedihan dan rasa sakitnya dihadapan Nathan. Tapi, matanya jelas menampilkan hal yang bertentangan dengan apa yang ia ucapkan tadi.

"Lo--"

"Panggil Raka, kita samperin mereka nanti malem." Setelah mengatakan itu, Grace beranjak menuju kamar mandi.

Di sana ... dirinya menangis. Menumpahkan air mata yang sedari tadi ia tahan. Dadanya terasa sesak. Grace menangis tanpa suara.

"Harusnya gue nggak lahir."

"Harusnya gue nggak pernah ada di kehidupan Papa Mama."

Gadis itu terkekeh dengan air mata yang terus mengalir. "Apa masih pantes gue sebut mereka Papa Mama?

"Gue cuma pembawa sial. Gue cuma anak pungut. Gue cuma beban."

Grace terus mengumpati dirinya sendiri. Menganggap semua yang terjadi adalah salahnya.

"Andai gue nggak ada, pasti mereka nggak bakal pisah. Gina nggak bakal sedih," lirihnya. Gadis itu menjambaki rambutnya sendiri.

Terlintas sebuah ide untuk mengakhiri semua ini, mengakhiri penderitaannya di dunia, mengakhiri ... hidupnya.

Tapi, segera ia tepis. "Nggak. Gue bakal terus berjuang, sampai keluarga Gina kembali bersama. Gue bakal nebus kesalahan gue karena udah hancurin sebuah keluarga yang udah susah payah rawat gue. Setelah itu, baru gue bisa pergi dengan tenang."

❄❄❄



"Semua yang terjadi sudah kehendak-Nya. Baik atau buruk sudah menjadi ketentuan-Nya."

TRSG!



Sebelum baca ke bab selanjutnya, silahkan tebak bagaimana endingnya...

TheRealSadGirl! (SELESAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang