14

5.3K 586 19
                                    

Untuk kesekian kalinya Ten mencoba untuk membujuk Joana supaya membiarkan dia ikut ke basement apartemen Jeffrey. Ten pengin menemani Joana yang harus mengambil mobilnya yang kemarin ia tinggal karena diantar pulang sama Jeffrey. Tapi cewek itu menolak usulan Ten. Bersikeras bilang kalau dia nggak perlu ditemani. Kalau dia baik-baik aja. Walau tadi sempat seperti hilang kewarasan.

"Jo, gue temenin sampe sana, ya?" Lagi-lagi Ten membujuk Joana.

Dua orang itu sekarang lagi berdebat di depan gedung apartemen Jeffrey. Ten dan Joana berdiri di depan mobil cowok itu.

"Nggak usah, Ten. Gue nggak apa-apa," tolak Joana.

Senyuman terpatri di bibir tipis Joana. Berusaha membuat Ten yakin dan nggak perlu khawatir.

Selanjutnya cewek itu berbalik hendak pergi ke basement apartemen untuk mengambil mobilnya. Tapi tiba-tiba Ten menahan tangannya.

"Jo ...."

Joana berbalik masih dengan senyum di bibirnya. "Gue beneran udah nggak apa-apa, Ten," ujar Joana dengan tenang.

Akhirnya Ten melepaskan tangan Joana. Membiarkan Joana pergi seorang diri untuk mengambil mobilnya. Tadinya Ten berniat menunggu sampai Joana keluar dari basement. Tapi nasib baik sedang nggak mau berpihak ke dia. Sebab sekarang telinganya sudah dihiasi suara mamanya yang cempreng melalui sambungan telepon. Wanita itu menyuruh Ten cepat pulang karena di rumah Ten keluarga besar sedang berkumpul. Mamanya Ten memang definisi dari ribet yang sebenarnya.

Sementara di dalam basement Joana masih berdiri diam di depan mobilnya. Cewek itu nggak punya niat untuk segera masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya keluar dari sana. Entah apa yang ada di pikiran Joana.

Raut wajahnya nggak setenang beberapa saat yang lalu waktu masih bicara sama Ten. Sekarang wajah cewek itu sudah berubah pucat. Nggak berenergi sama sekali.

Joana melangkah mendekati pintu mobil. Tapi nggak segera membuka pintu mobil. Dia cuma diam di sana dengan tangan mengepal menahan gemetar. Bibirnya dia gigit kuat buat menahan teriakan frustasi yang memaksa keluar. Nggak lucu kalau tiba-tiba Joana teriak di sini dan membuat penghuni apartemen terganggu.
Tapi tampaknya Joana nggak cukup kuat. Dia mungkin bisa menahan teriakannya tapi nggak dengan air matanya. Bulir-bulir air mata cewek itu turun begitu benaknya kembali mengingat pertemuannya dengan sang papa.

Joana nggak sekuat itu. Dia mungkin terlihat tangguh, kasar dan kadang juga arogan serta penuh percaya diri. Seakan-akan dia punya benteng pertahanan yang tinggi. Tapi lihat sekarang! Cewek itu bisa rapuh. Cewek itu tumbang setelah pertemuan singkatnya dengan sang papa yang selama belasan tahun cuma memberikan luka dan trauma dalam ingatannya.

Tubuh Joana meluruh dan bersandar di badan mobilnya. Isakan tertahan pun mulai terdengar menghiasi kesunyian basement. Joana merasa beruntung karena saat ini di sana nggak ada siapa-siapa. Jadi nggak akan ada orang yang melihat Joana yang seperti ini.

Cewek itu semakin terisak sambil menutup kedua telinganya dan memejamkan mata. Berusaha mengusir suara-suara teriakan, makian, tamparan dan benda-benda yang pecah akibat dilempar seenaknya. Tapi nggak semudah itu. Makin lama bukannya menghilang justru suara itu makin terdengar jelas. Rasanya seperti berhasrat untuk menarik Joana kembali ke masa-masa itu.

"Enggak! Gue nggak ada di sana!! Gue nggak perlu ke sana lagi!! Enggak!!!" tegas Joana dengan napas terengah-engah.

Joana membuka matanya. Melayangkan tatapan nyalang pada kekosongan di depannya. Hingga kemudian kedua tangannya sibuk mengobrak-abrik isi tasnya cuma untuk mencari botol kecil berwarna putih yang selalu dia bawa ke mana-mana. Mungkin karena terlalu panik jadi, Joana nggak kunjung menemukan botol tersebut. Dia sampai menumpahkan isi tasnya hingga berserakan di lantai basement. Barulah netranya menangkap penampakan botol putih itu.

30 Days With JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang