21

4.7K 524 28
                                    

Lagi-lagi peristiwa yang sama terulang. Lagi-lagi cewek itu harus dilarikan ke rumah sakit karena alasan yang sama yaitu, overdosis obat anti kecemasan.

Cewek itu terbaring tak sadarkan diri dengan jarum infus yang tertanam di pergelangan tangannya. Wajahnya kelihatan pucat pasi. Seolah menunjukkan bahwa dia memang nggak baik-baik aja.

"Syukurlah kamu bawa dia tepat waktu. Kalo nggak nyawanya bisa terancam," kata dokter Hendery.

"Terimakasih, dokter," ucap Nilam, Mama Joana dan Juna.

Wanita itu menghela napas lega begitu dokter Hendery memberitahukan kondisi Joana. Namun, meski begitu hatinya masih tetap hancur karena melihat anak perempuannya kembali terbaring di brankar rumah sakit dengan alasan yang sama.

Dokter Hendery pergi setelah berpamitan pada Nilam dan Juna. Lalu, keduanya beralih duduk di kursi koridor. Juna menepuk pelan bahu Nilam. Berharap mampu menenangkan perasaan sang Mama.

"Kak Jo bakal baik-baik aja, Ma," ucap Juna dengan nada lembut.

"Kasihan kakak kamu, Jun. Mama nggak tega liatnya," lirih Nilam.

"Tante? Juna?!"

Kedua orang itu kompak mengalihkan atensi mereka. Sosok Ten yang berdiri tegap dengan napas terengah pun menjadi pemandangan yang menyambut netra Juna dan Nilam. Di samping Ten juga ada sosok asing yang baru pertama kali Nilam lihat. Dia Jeffrey Wilsen.

Juna berdiri diikuti oleh Nilam. Lantas Ten dan Jeffrey menghampiri dua orang itu.

"Gimana keadaan Joana, Tante?" tanya Ten khawatir.

Nilam langsung memeluk Ten dengan erat. Bahu ringkih wanita itu tampak bergetar. Menunjukkan seberapa pilu dan hancur hatinya kini.

"Ini semua salah Tante. Tante nggak pernah bisa jaga Joana ... Joana selalu jagain Tante tapi ... tapi Tante nggak pernah ...."

"Tante jangan ngomong gitu. Joana pasti sedih kalo denger omongan Tante," ujar Ten dengan lembut.

Sementara Ten menenangkan Nilam, Jeffrey sudah masuk ke dalam ruang rawat Joana. Cowok itu berdiri di sisi kiri brankar Joana. Matanya terlihat menampilkan sorot sendu yang nggak bisa ditutupi. Ya, sesedih itu Jeffrey melihat Joana dalam keadaan seperti ini.

Bagaimana mungkin? Cewek yang selalu terlihat kuat, galak, judes, sinis dan banyak bicara itu ternyata nggak lebih dari seseorang yang memendam luka hati. Menyimpan kehancurannya sendirian. Tanpa mau melibatkan orang lain. Bagaimana mungkin Joana bisa sanggup sampai sekarang?

Jeffrey mendudukkan diri. Ia meraih tangan Joana dan menggenggamnya.

"Aku nggak suka liat kamu kayak gini, Jo."

Suasana masih tetap hening walaupun Jeffrey sudah membuka suara.

"Aku lebih suka liat kamu judesin aku, jutekin aku, ngelirik aku sinis daripada liat kamu sakit kayak gini, Jo."

Jeffrey nggak cuma sedih melainkan sangat sedih. Dia bahkan nggak pernah menyangka akan melihat Joana dalam keadaan seperti ini. Lebih tepatnya Jeffrey nggak pernah berpikir kalau Joana punya kehidupan yang rumit. Kalau cewek itu punya luka yang belum sembuh dan masih terus menghantui kehidupannya sampai sekarang.

Saat Jeffrey sedang asyik melamun tiba-tiba ruang rawat dibuka dari luar. Jeffrey pun mengalihkan atensinya ke ambang pintu. Ia menemukan keberadaan Juna di sana.

Juna berjalan mendekat dan berdiri di sisi kanan brankar Joana. Cowok itu mengusap dahi putih Joana yang dihiasi titik-titik peluh.

"Lo ...."

30 Days With JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang