17

5.1K 550 63
                                    

Malam sudah beranjak semakin larut. Sementara Jeffrey masih melajukan mobilnya di jalan raya yang nggak terlalu padat.

Cowok itu terlihat fokus mengemudikan mobilnya. Menatap lurus ke arah jalanan yang dilaluinya. Tapi opini itu nggak sepenuhnya benar. Sebab nyatanya sejak tadi Jeffrey justru kehilangan fokusnya. Ia cukup kesulitan dengan pikirannya yang terpecah ke mana-mana. Apalagi jika melihat sosok yang kini duduk di sampingnya dengan pandangan kosong terarah pada pemandangan luar mobil. Jeffrey makin dibuat bingung aja.

Keheningan semakin terasa mendominasi dan membuat mereka berdua benar-benar seperti terjebak dalam pulau tanpa penghuni.

"Kamu nggak apa-apa?"

Akhirnya Jeffrey memberanikan diri bertanya lebih dulu. Masa bodoh Joana akan menjawab pertanyaannya atau enggak yang penting Jeffrey sudah bertanya.

Joana keliatan mengalihkan perhatiannya dari jendela mobil. Dia pun melirik Jeffrey sekilas.

"Gue nggak apa-apa," jawab Joana nggak minat.

Keliatannya sekarang Joana benar-benar nggak punya secuil pun minat untuk bicara dengan Jeffrey. Cewek itu sedang dalam mode malas bicara dan malas melakukan apapun. Karena sepertinya otaknya masih dipenuhi sama kejadian di apartemen Jeffrey beberapa jam yang lalu.

Joana nggak sepenuhnya menyalahkan Jeffrey. Joana sadar kalau Jeffrey dan sebagian besar cowok-cowok di luar sana memang punya watak seperti itu. Joana juga nggak kaget waktu Jeffrey berperilaku kasar karena demi apapun Joana sudah pernah mendapatkan perlakuan yang jauh lebih kasar daripada itu. Joana cuma kesal karena gangguan kecemasannya yang nggak tau kapan bisa sembuh, kapan bisa menghilang. Penyakit itu pasti selalu muncul disaat Joana mengalami kejadian yang membuatnya teringat akan kejadian yang dulu-dulu. Joana benci ketika mengingat kenyataan itu.

"Jo?"

Tanpa menunggu lama Joana langsung turun setelah mobil Jeffrey berhenti di depan rumahnya. Jeffrey pun ikut turun dan mengantar Joana sampai depan pagar rumah cewek itu.

"Makasih," ucap Joana dengan nada datar.

"Sama-sama," jawab Jeffrey sambil tersenyum lembut.

Detik selanjutnya Joana berbalik hendak memasuki pekarangan rumahnya. Tapi Jeffrey menahan bahu Joana dan membuat Joana terpaksa menghentikan langkahnya.

"Kenapa?" tanya Joana setelah kembali menghadap Jeffrey.

Cowok itu nggak terlihat akan membuka mulutnya. Dia cuma diam dan memperhatikan pahatan sempurna di depannya.

Jeffrey mengusap pipi Joana dengan lembut. Selembut tatapan matanya yang jujur sedikit membuat Joana terhanyut. Lalu, tanpa aba-aba Jeffrey membawa Joana ke dalam dekapannya. Cowok itu memeluk Joana dan mengelus punggung Joana dengan pelan. Ia juga mengecupi puncak kepala Joana.

"Maafin aku, Jo," gumam Jeffrey.

"Nggak usah minta maaf. Bukan salah lo," jawab Joana.

Berapa kalipun Jeffrey minta maaf bagi Joana itu nggak ada gunanya. Lagipula sejak awal Joana juga nggak pernah berharap apa-apa sama Jeffrey. Sekali lagi Joana nggak pernah menaruh rasa percaya sama Jeffrey. Joana juga nggak mengharapkan apapun dari Jeffrey. Karena sampai kapanpun Jeffrey akan tetap jadi orang asing untuk Joana.

"Gue masuk dulu," kata Joana seraya melepaskan diri dari dekapan Jeffrey.

"Jo, sementara kamu pake hp aku dulu. Nanti aku beliin yang--"

"Nggak usah," tolak Joana.

"Pake aja, Jo. Aku masih punya ponsel lama di rumah. Nanti kalo ada apa-apa kamu bisa hubungin aku pake ponsel ini," ujar Jeffrey.

30 Days With JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang