56

5.9K 487 63
                                    

"Mau ngapain ke sini? Mau minta apalagi dari saya? Nyawa mama saya belum cukup?"

Kalimat itu meluncur bebas dari bibir Joana. Dengan intonasi datar tanpa emosi yang berhasil membuat dua lelaki di hadapannya itu didera rasa bersalah. Terutama lelaki paruh baya yang baru berani menampakkan batang hidungnya 3 hari setelah kematian Nilam itu.

Joana memalingkan wajahnya saat melihat Aslan mendekatinya. Sungguh Joana muak dan benci harus melihat wajah dari pria yang sudah menyakiti mamanya selama bertahun-tahun itu. Bahkan setelah keduanya resmi bercerai Aslan masih belum juga puas. Dia terus saja mengganggu kehidupan Nilam hingga akhirnya Nilam benar-benar pergi.

"Nana ...," lirih Aslan.

"Jangan sebut nama saya!!" desis Joana.

"Maafkan, Papa. Papa salah, Nana," ucap Aslan penuh sesal.

Jeffrey yang paham bahwa Joana butuh mengobrol berdua dengan Aslan pun segera keluar. Dia nggak mau jadi penghalang untuk pasangan anak dan ayah yang mungkin akan menyelesaikan konflik itu.

Aslan menghela napas pelan. Ia lalu meletakkan buket bunga yang di bawa tepat di meja samping brankar Joana. Sayangnya belum sampai 5 detik bunga tersebut mendarat di sana, Joana langsung membuangnya ke lantai.

"Saya nggak butuh apapun dari Anda! Jadi ... sebaiknya sekarang Anda pergi!" titah Joana dengan nada tajam.

"Papa cuma ingin memberikan kebahagiaan buat kamu. Waktu itu Papa cuma minta sama mama kamu supaya biarin Papa bawa kamu dan kenalin kamu sama laki-laki pilihan Papa. Tapi--"

Kalimat Aslan terpotong oleh suara tawa Joana yang terdengar begitu sarkastik.

"Lucu banget. Saya nggak nyangka kalo Anda sampe mau repot-repot mikirin kebahagiaan saya," ujar Joana.

"Nana ... maafkan Papa. Papa akan lakukan apapun asal kamu mau maafin Papa. Kamu mau apa? Bilang sama Papa. Atau kamu mau tinggal sama Papa, sama Jessica dan mama?"

Benar. Sekarang Aslan menyesali segala perbuatannya. Aslan menyesal telah lepas kendali sampai akhirnya melukai Nilam. Aslan lebih menyesal lagi karena tindakannya telah mengacaukan hidup putri sulungnya. Sejahat apapun Aslan di mata orang lain tetap nggak bisa menutup fakta bahwa dia masih seorang ayah yang menyayangi putrinya. Walau selama ini sikapnya pada Joana memang nggak seperti sikap seorang ayah pada umumnya.

Joana masih betah menutup rapat mulutnya. Membiarkan Aslan terus berceloteh panjang lebar dan mengungkapkan penyesalannya. Tapi demi apapun segala yang Aslan ucapkan sama sekali nggak membuat Joana tersentuh. Justru sekarang dia marah. Dia merasa seperti sedang mendengar Aslan yang tengah memamerkan kehidupan sempurnanya setelah membuang keluarganya dan menikah dengan wanita itu.

"Mau, ya, Na? Nana tinggal sama Papa. Papa janji akan lakuin apapun untuk kebahagiaan Nana," ucap Aslan sekali lagi penuh harap.

Sudah kepalang marah akhirnya Joana berdiri. Dia mencabut jarum infus di tangannya dan berjalan cepat menuju pintu.

"Keluar! Saya nggak mau liat Anda di sini!" titah Joana sembari membuka pintu lebar-lebar.

Air muka Aslan berubah makin sendu. Sayangnya semua itu masih nggak bisa melunturkan kebencian yang Joana pendam untuknya.

"Nana ... dengarkan Papa. Papa minta maaf. Papa janji nggak--"

"Janji? Jangan konyol! Saya nggak butuh janji apapun dari Anda. Saya cuma mau ... Anda menghilang dari pandangan saya!"

Dengan sigap Aslan menghampiri Joana. Dia meraih kedua tangan Joana dan menggenggamnya erat.

"Semua orang pernah melakukan kesalahan, Nana. Dan Papa cuma manusia biasa yang nggak luput dari kesalahan. Papa tau Papa udah bikin kamu kecewa. Tapi Papa berharap jangan cuma karena kesalahan Papa--"

30 Days With JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang