Mobil Joana berhenti di halaman rumah minimalis tempat mama dan adiknya tinggal. Ia pun turun dari mobil dan meneliti sekeliling rumah. Bermaksud mengecek apakah papanya masih di sini atau nggak. Namun jika dilihat dari kondisi halaman rumah yang hanya dihuni oleh mobilnya, Joana jadi menduga kalau papanya sudah pergi."Mama?!"
Suara Joana membahana memenuhi seisi rumah begitu kakinya memijakki lantai marmer kediaman sang mama. Lantas kesunyian adalah satu-satunya hal yang menyambut kedatangan Joana.
"Mama, Nana pulang!!" seru Joana seraya menyusuri ruang tamu.
Cewek itu berbelok ke arah ruang keluarga. Saat tiba di ruang keluarga rasanya segala tanya yang memenuhi benaknya terjawab sudah. Mengapa hanya sunyi yang menyambutnya? Mengapa mamanya nggak kunjung menjawab panggilannya? Semua benar-benar terjawab.
"Mama ... MAMA!!"
Untuk beberapa detik jiwa Joana seperti terlepas dari raganya. Dada Joana sakit layaknya habis dihantam benda berat. Lalu kakinya yang mati rasa dia paksa melangkah menuju raga Mamanya yang tergeletak di atas lantai marmer dengan kepala bersimbah darah.
Ketakutan langsung menghampiri Joana. Tubuhnya bergetar hebat, tangannya terasa begitu dingin saat dia mencoba menyentuh wajah Mamanya.
"Mama ... Ma, bangun ....," lirih Joana.
Butiran air mata jatuh dengan bebas. Membasahi lantai yang dia pijak. Hanya air mata tanpa adanya suara isakan yang menandakan bahwa cewek itu sudah sampai pada titik terendahnya. Di mana hati dan jiwanya benar-benar terluka atas apa yang menimpa perempuan paling berharga dalam hidupnya itu.
"Ma, bangun ...," lirih Joana.
Kini ia tengah menempelkan ponselnya di telinga. Menunggu seseorang menjawab panggilannya. Sementara air matanya nggak berhenti mengalir. Tubuhnya juga kelihatan makin bergetar ketakutan.
"Halo, Nana?"
Suara yang terdengar ceria itu akhirnya menyapa pendengaran Joana. Membuatnya sedikit menghela napas lega.
"J-jeff ... tolong."
"Kamu kenapa? Kamu nangis? Di mana? Ada apa, Na?"
Dalam sekejap aura ceria yang terpancar dari lelaki itu langsung ditelan habis oleh rasa cemas akibat mendengar suara Joana yang begitu pilu.
"Mama, Jeff. Tolongin Mama ... aku nggak mau kehilangan Mama ... tolong, Jeff ...."
"Kamu tunggu di situ! Jangan ke mana-mana! Aku bakalan ke sana!!"
Sambungan telepon diakhiri oleh Jeffrey. Lalu Joana pun menjatuhkan ponselnya.
Cewek itu menutup wajahnya yang penuh air mata. Mencoba mengendalikan diri tapi ternyata nggak bisa. Tubuhnya justru makin bergetar hebat. Kenangan-kenangan mengerikan itu kembali datang dan membuat kepalanya pening serta dadanya makin sesak.
Joana benci perasaan ini. Dia benci saat sadar ternyata dia nggak akan bisa lepas dari gangguan kecemasannya.
"Ma ... jangan tinggalin Joana," lirih Joana seraya menggigit bibirnya kuat-kuat.
Kalau sampai terjadi sesuatu pada Nilam, Joana nggak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. Joana juga nggak akan pernah memaafkan papanya, Aslan. Ah, apa laki-laki itu masih pantas ia panggil papa? Setelah semua yang dia lakukan?
*****
Pelukan itu terasa menenangkan. Menyingkirkan segala rasa takut dan kalutnya. Menggantinya dengan kehangatan yang benar-benar membuatnya seperti menemukan tempat yang tepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days With J
FanfictionJoana tidak akan menikah. Joana akan menghabiskan seumur hidupnya dengan melajang. Tapi insiden malam itu malah membuat Joana terjebak dengan Jeffrey, laki-laki yang terobsesi ingin menjadikannya pasangan hidup. Joana sudah menolak Jeffrey tapi Jeff...