48

3.5K 388 58
                                    

Jam sudah menunjuk angka 5 sore. Tandanya waktu pulang kantor sudah tiba. Kini, ruangan yang diisi oleh 4 orang staf divisi kreatif itu mulai dipenuhi suara grasak-grusuk dari para penghuninya yang tengah bersiap-siap pulang.

Ten terlihat membereskan peralatannya. Memasukkan beberapa catatan ke dalam tas hitam bermereknya kemudian berdiri. Belum genap 3 detik cowok itu berdiri Dila sudah menghampirinya. Seperti biasa dengan senyum manis yang menghias bibirnya.

"Pulang bareng, kan?" tanya Dila pada Ten.

Sebelum menjawab pertanyaan Dila mata Ten lebih dulu terarah pada pintu ruangan Joana. Seakan menunggu pemilik ruangan itu terjamah oleh penglihatannya.

"Kak?" tegur Dila.

Ten mengalihkan atensinya pada Dila. "Iya? Tadi kamu ngomong apa?"

Raut wajah Dila sedikit meredup. Tapi tentu saja Ten nggak menyadari perubahan ekspresi cewek itu.

"Kita pulang bareng, kan?" tanya Dila sekali lagi.

"Iya. Kita pulang bareng. Yuk!" sahut Ten.

Dila sudah kembali tersenyum. Tangan kanannya tergerak hendak menggandeng tangan Ten namun tiba-tiba cowok itu malah jalan lebih dulu. Saat Dila menoleh ternyata Ten tengah menghampiri Joana yang baru keluar ruangan.

"Pulang ke rumah atau langsung ke rumah sakit?" tanya Ten.

Joana kelihatan memeriksa jam tangannya. "Mampir rumah kak Sean sebentar, Ten. Zia kangen katanya."

"Oke. Kalo gitu nanti kita ketemu di rumah sakit aja, ya."

Ucapan Ten dijawab anggukan oleh Joana. Hingga kemudian Sean datang dan Joana pun pergi bersama Sean.

Setelah Joana pergi Ten menoleh ke belakang. Mendapati Dila yang masih berdiri di tempat yang sama.

"Ayo! Katanya mau pulang bareng," ujar Ten sambil melambaikan tangannya.

"Iya, Kak," jawab Dila sekenanya.

Dila berjalan di samping kanan Ten. Sesekali cewek itu menunduk dan melirik tangannya dan tangan Ten yang kadang saling bergesekan. Senyum miris langsung terpatri di bibir Dila saat sadar kini jarak kembali terbentang di antara dirinya dan Ten. Padahal kemarin mereka masih pulang bersama sambil bergandengan tangan dan bercerita banyak hal. Tapi sekarang apa?

Salah kalau Dila mulai membenci Joana? Salah kalau Dila merasa perubahan sikap Ten saat ini karena Joana? Percayalah Dila juga hanya cewek biasa yang bisa sakit hati dan cemburu ketika melihat cowok yang dia suka kembali akrab dengan cinta pertamanya. Walau saat ia menyinggung fakta itu pada Ten pasti Ten akan bilang kalau dia hanya simpati pada sahabatnya. Kalau perhatian-perhatian yang Ten berikan pada Joana semata-mata juga hanya rasa sayang sebagai sahabat.

"Dila? Hei?!"

Suara Ten berhasil menyadarkan Dila dari lamunannya. Ia langsung ketar-ketir sendiri saat kini wajahnya berada tepat di depan dada bidang Ten. Dila pun mendongak dan memberanikan diri menatap mata Ten yang begitu legam.

"Kamu nglamun?" tanya Ten sambil menaikkan sebelah alisnya.

"E-enggak. Emang kenapa, Kak?" dusta Dila.

"Jangan bohong. Aku tau dari tadi kamu bengong. Mikirin apa? Hmm?"

Dila suka pusing kalau sudah mendengar Ten berdehem seperti itu. Bukan pusing karena muak atau risih tapi pusing karena terlalu terpesona dengan cowok itu. Rasanya ketampanan dan karisma cowok bernama asli Chittaphon itu makin bertambah saat dia menambahkan kata 'hmm' di akhir kalimatnya.

30 Days With JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang