28

4.3K 468 13
                                    


Hari itu, tanggal 14 Februari. Hujan masih aja turun dan membasahi bumi Jakarta.
Untungnya hujan yang turun nggak sederas biasanya. Jadi, banjir dan segala problem yang mengikuti nggak menyambut kepulangannya dari LA.

"Jalannya macet, Mas. Sabar, ya."

"Hmm."

Sudah hampir satu jam sejak Jeffrey menginjakkan kaki di Jakarta. Tapi dia masih bertahan di tempat yang sama. Terjebak di jalan yang penuh kemacetan disertai hujan rintik-rintik. Keberadaan pedagang asongan dan beberapa pengemis serta pengamen semakin menambah pelik suasana. Jakarta belum berubah. Begitulah pikir Jeffrey.

Kini, yang dapat Jeffrey lakukan hanya menghela napas, mengusap pangkal hidung dan menatap segala objek yang dirasa mampu sedikit mengalihkan rasa bosannya.

Pandangan Jeffrey jatuh pada para pedagang asongan yang masih aja berseliweran di tengah hujan. Nggak perduli meski mereka basah kuyup dan mungkin bisa aja jadi demam nantinya. Ya, mau bagaiman lagi? Demi sesuap nasi, rintik hujan nggak akan jadi permasalahan besar untuk mereka. Yang penting mereka pulang bawa hasil bukannya tangan kosong.

Dari sekian banyaknya pedagang asongan ada satu yang menarik perhatian Jeffrey. Seorang anak usia sekitar 7 tahun lagi menjajakan kerupuk yang dia bawa dari satu mobil ke mobil lain. Tapi nggak satupun dari mobil-mobil itu yang membuka jendela untuk sekedar melihat anak itu. Raut muram dan lelah tergambar jelas di wajah anak itu. Ditambah air hujan yang membuatnya makin kelihatan kusam.

Akhirnya anak itu berbalik. Dia berniat pergi dan menepi ke bawah pohon yang ada di sekitar sana. Tapi kemudian nggak jadi karena salah satu mobil yang berada jauh di depannya tiba-tiba membuka pintu. Jarak mobil itu cukup jauh dan nggak termasuk dalam jangkauan si anak tadi. Tapi kini Jeffrey bisa melihat seorang perempuan keluar dari sana sambil berlari membawa payung berwarna kuning. Dari penampilannya Jeffrey bisa menebak kalau perempuan itu adalah sosok wanita karir.

Tiba-tiba dia berhenti dan berjongkok di depan anak tadi. Tangan kurusnya mengusap rambut dan wajah si anak yang sudah basah kuyup. Nggak lama dia mengeluarkan beberapa lembar uang 100 ribuan dan memberikannya pada si anak. Dia juga mengambil kerupuk dagangan si anak, membuka salah satunya dan memakannya saat itu juga.

Senyum manis dan tulus menghias bibir perempuan itu. Yang akhirnya juga menular pada si anak. Sekali lagi perempuan itu mengusap wajah si anak, mencium pipinya sekilas tanpa merasa jijik lalu memberikan payungnya. Dia tampak menyuruh anak laki-laki tadi agar segera pergi dari jalanan yang macet itu. Sementara dirinya masih tersenyum di bawah guyuran air hujan. Nggak lama seorang pemuda dengan hidung mancung nyaris runcing menghampirinya. Mereka terlihat berbincang beberapa saat sebelum akhirnya kembali ke dalam mobil sambil memakan kerupuk tadi.

"Pak?"

"Iya, Mas?"

"Jaman sekarang masih ada ya orang yang mau nolongin orang lain tanpa harus ngejatuhin harga diri orang itu?"

"Hah? Maksudnya, Mas?"

Jeffrey cuma senyum tipis. Nggak punya niat untuk menjelaskan maksud dari kata-katanya pada supir pribadi keluarga Wilsen itu.

Yang Jeffrey lakukan sekarang cuma mengingat senyum perempuan tadi. Senyum yang entah kenapa keliatan begitu cantik meskipun di bawah guyuran air hujan.

____

Setelah seharian menghabiskan waktu di rumah untuk istirahat dan menghilangkan jetlag sehabis perjalanan akhirnya malam ini Jeffrey keluar juga. Dia sudah ada janji untuk ketemu teman-temannya.

30 Days With JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang