Remuk. Cuma itu kata yang bisa menjelaskan keadaan Joana saat ini. Tubuhnya remuk setelah si brengsek Jeffrey kembali mengagahinya. Dan kini setelah melakukan hal itu Jeffrey dengan mudahnya tertidur pulas layaknya bayi yang nggak punya dosa.Joana berbalik guna melihat seperti apa rupa Jeffrey setelah berhasil membuatnya menahan sumpah serapa sepanjang kegiatan laknat mereka. Dan seperti dugaannya, Jeffrey benar-benar tidur. Wajahnya terlihat begitu damai. Berbanding terbalik dengan Joana yang seolah siap menelan manusia hidup-hidup.
Cewek itu bangun dan menyingkirkan tangan Jeffrey yang memeluknya posesif. Punggungnya bersandar pada kepala ranjang. Lantas, matanya memindai kondisi kamarnya yang persis seperti kapal pecah. Barang-barangnya berserakan di lantai bersama helaian kain yang semula membungkus tubuhnya.
"Jeffrey, sialan," desis Joana.
Rasanya memaki Jeffrey hingga seribu kalipun nggak akan cukup untuk meredakan amarahnya.
"Nana ...."
Radar dalam kepala Joana menyala seketika setelah rungunya menangkap suara serak Jeffrey.
Joana menunduk dan mendapati Jeffrey yang entah sejak kapan telah membuka matanya. Lelaki itu tengah menatap Joana dengan sorot teduhnya.
"Apa?!" sentak Joana.
Jeffrey tersenyum lalu bangun dan ikut duduk di samping Joana.
Tanpa aba-aba lelaki itu memeluk Joana dari samping. Karena terlalu lelah Joana cuma bisa diam dan membiarkan lelaki Wilsen itu memeluk tubuhnya yang hanya dibalut selimut sebatas dada."Kenapa sih tinggal bilang kalo kamu suka sama aku aja susah banget," ujar Jeffrey tiba-tiba.
Mata Joana berotasi malas. "Siapa juga yang suka sama lo?"
"Kalo nggak suka terus kenapa tadi kamu nangis waktu aku mau pulang?"
Skakmat. Benar juga. Kenapa tadi dia harus menangis? Seharusnya dia biasa aja, kan?
Untuk pertanyaan itu Joana nggak berhasil menemukan jawabannya juga nggak bisa mengelak. Karena kalau mengelak yang ada Jeffrey akan semakin menyudutkannya.
"Na ...," gumam Jeffrey.
Ia memposisikan kepala Joana agar bersandar di dada kirinya.
"Kamu bisa denger nggak? Jantung aku detaknya cepet banget kayak abis lari marathon," tutur Jeffrey.
"Terus? Kenapa emangnya?" tanya Joana.
"Ini semua karena kamu, Na."
"Ck! Bisa nggak sih jangan pa ...."
Kata-kata Joana tergantung di tenggorokan. Sebab saat ia mendongak wajah tampan Jeffrey sudah berada amat dekat dengan wajahnya. Bahkan ujung hidung keduanya nyaris bersentuhan.
Joana membeku di tempatnya masih dengan posisi yang sama. Sampai kemudian Jeffrey menghapus jarak di antara wajah mereka dan membenamkan bibirnya di atas bibir Joana. Hanya sebuah kecupan singkat yang anehnya membuat Joana kian membeku.
"Tau nggak? Tadi itu aku cuma pura-pura. Aku nggak niat ke mana-mana. Niatku cuma pengin ngerjain kamu aja. Eh, taunya kamu nanggepinnya serius sampe nangis-nangis gitu," jelas Jeffrey dengan suara halusnya.
"A-apa? Jadi? Lo ngerjain gue?!"
PLAK
"Aww!!"
Pekikan Jeffrey terdengar cukup memilukan. Tentunya karena tangan Joana yang mendarat di kepala belakang Jeffrey.
"Sakit, Jo," keluh Jeffrey.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days With J
FanfictionJoana tidak akan menikah. Joana akan menghabiskan seumur hidupnya dengan melajang. Tapi insiden malam itu malah membuat Joana terjebak dengan Jeffrey, laki-laki yang terobsesi ingin menjadikannya pasangan hidup. Joana sudah menolak Jeffrey tapi Jeff...