53

5.4K 447 81
                                    


"M-ma? Mama ...."

Butiran kristal bening berjatuhan membasahi wajah pucatnya. Seluruh tubuhnya gemetar bahkan nyaris nggak sanggup berdiri. Tapi pada akhirnya tetap dia paksa melangkah sampai akhirnya tubuhnya luruh tepat di samping raga Mamanya yang telah terbujur kaku.

"M-ma ... Mama ...."

Suaranya terdengar amat putus asa. Sentuhan di tangan dingin itu juga sama putus asanya.

"Ma? Jangan becanda! Bangun, Ma. Nana nggak suka dibecandain kek gini, Ma! MA! MAMA BANGUN!! MAMA JANGAN DIEM AJA!! MA, BANGUN!!"

Pada akhirnya teriakan pilu itu keluar juga. Bersama kedua tangannya yang mengguncang-guncang tubuh sang Mama. Berharap guncangan itu mampu membangunkan Mamanya. Tapi tentu saja hal itu nggak akan pernah terjadi. Karena nyatanya Mamanya sudah pergi. Malaikat tanpa sayapnya sudah pergi bahkan sebelum dia mengucapkan selamat tinggal.

"MAMA BANGUN!! MAMA!!!"

Joana terus berteriak sembari menangis. Meluapkan kesedihan dan kehancuran yang dia rasakan. Benar. Hari ini, detik ini juga dia benar-benar hancur. Dunianya runtuh nggak bersisa. Bahkan sekarang rasanya ia juga ingin mati.

"MAMA JAHAT!! MAMA JAHAT!! KENAPA MAMA PERGI?! MAMA JAHAT!!!"

Mata sembab cewek itu beralih menatap adiknya yang juga tengah menangis dalam diam. Seakan ingin meminta penjelasan pada sang adik tentang apa yang kini sedang terjadi.

"Juna ... bilang sama Kakak ... Mama lagi tidur, kan? Mama cuma ... Mama cuma ngantuk aja, kan? Mama bakal bangun, kan?"

"Kak ...." Hanya kata itu yang mampu Juna lontarkan. Kemudian Juna menjauhkan dirinya dari Nilam. Dia duduk di sofa sambil menyangga kepalanya. Juna sama hancurnya dengan Joana.

Sean yang sejak tadi menjadi penonton pun akhirnya turun tangan. Dia nggak bisa dan nggak tega melihat Joana yang sekalut ini.

Sean berlutut lalu mendekap tubuh Joana dengan kuat. Lelaki itu berusaha menenangkan Joana yang terus saja memberontak. Merasa nggak bisa menerima takdir menyakitkan ini.

"Jo ... udah ...," lirih Sean.

Air mata Sean ikut jatuh. Sekarang laki-laki itu benar-benar bisa merasakan kesedihan yang tengah Joana rasakan. Hati Sean juga ikut hancur cuma karena melihat Joana seperti ini.

"Tadi Mama bangun, Kak. Mama ... udah senyum, Mama minta aku untuk nelfon Jeffrey ... Mama--"

"Ssstt!! Udah. Jangan dilanjutin," potong Sean sambil mengecupi puncak kepala Joana.

"Tante ...," lirih Zia.

Gadis cilik itu menghampiri Joana dan Sean. Tangan mungilnya bergerak pun menghapus air mata di wajah Joana.

"Tante jangan sedih. Zia sayang Tante."

Sayangnya ungkapan Zia justru makin membuat Joana menangis pilu. Isakan demi isakan pun lolos tanpa bisa Joana cegah. Isakan yang menjelaskan betapa dia sulit untuk menerima kenyataan ini.

Beberapa menit yang lalu Joana jelas melihat Nilam yang bangun. Wanita itu terlihat bahagia dengan senyuman tipisnya. Tapi kenapa? Kenapa sekarang takdir malah mempermainkannya? Sebenarnya seberapa jauh takdir ingin menghancurkannya? Belum cukupkah ia ditinggalkan oleh Aslan, Tristan dan Jeffrey? Lantas sekarang Tuhan malah dengan kejam merampas Nilam dari hidupnya yang kelam ini? Dalam hidupnya yang menyedihkan ini?

Joana mencengkeram lengan Sean yang tengah mendekapnya. Kini, dia juga sedang menggigit bibirnya sendiri. Seakan ingin melampiaskan rasa sakit di hatinya.

30 Days With JTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang