"Brengsek," desis Ten.
Bugh!!
"Mau ngapain lo ke sini?!"
Tubuh sosok itu sedikit terhuyung ke belakang setelah menerima pukulan telak dari Ten. Namun, meski begitu nggak ada tanda-tanda kalau dia akan membalas pukulan Ten.
Wajah itu cuma memasang ekspresi miris. Seakan apa yang Ten lakukan padanya memang sudah sepantasnya ia dapatkan. Sedangkan Ten masih setia dengan mimik wajah murka nan mengerikannya. Dari wajah itu bisa sangat terbaca kalau Ten mungkin akan membunuh orang itu sekarang juga jika tak ingat ia masih memiliki keluarga yang perlu ia bahagiakan.
"Lo berhak mukul gue. Tapi ... tolong setelah itu kasih tau gue di mana Joana."
Akhirnya orang itu membuka suara setelah sekian detik diam dan berperang lewat pandangan dengan Ten.
Ten terkekeh sinis lalu meraih kerah kemeja cowok itu.
"Nggak salah? Lo mau ngapain lagi nyari Joana? Belum puas udah bikin hidup dia hancur?"
Cengkeraman Ten mengerat bahkan kini tangannya nyaris mencekik sosok yang nggak lain adalah Tristan itu.
Mungkin sebesar itulah amarah dan kebencian yang Ten miliki pada Tristan."Gue mohon. Gue perlu ketemu Joana, Ten," ucap Tristan putus asa.
"Nggak usah ganggu Joana lagi. Lo sama dia udah selesai. Lo yang hancurin semuanya. Lo lupa?!" tegas Ten masih sambil mencengkeram kerah kemeja Tristan.
"Gue tau! Gue paham! Tapi gue perlu ketemu Joana. Gue harus lurusin semuanya sama dia, Ten," ujar Tristan masih enggan mengalah.
Bukannya menanggapi kata-kata Tristan Ten justru kembali menghadiahkan pukulan bertubi-tubi di wajah tampan Tristan. Kali ini amarah Ten benar-benar nggak terkendali.
Sampai akhirnya Tristan membalas pukulan Ten. Cowok itu mendorong Ten hingga sedikit terhuyung. Lalu, tinjunya mendarat di pipi kanan Ten."Lo pikir lo siapa?! Lo cuma temennya Joana! Lo nggak berhak larang Joana untuk ketemu sama gue, bangsat!!" tegas Tristan disertai napas yang memburu.
Ten mengusap pipinya yang terasa kebas dan panas. Pandangannya kembali terarah pada sosok Tristan yang berada tepat di depannya dengan keadaan yang jauh lebih buruk dari dirinya.
Tanpa aba-aba Ten mengayunkan kakinya dan menendang Tristan tepat di dada cowok itu. Tristan pun tersungkur di atas rerumputan rooftop. Mulutnya mengeluarkan suara ringisan akibat tendangan Ten.
"Gue emang nggak berhak nentuin siapa yang boleh dan nggak boleh ketemu Joana. Tapi kalo gue nggak berhak ... lo lebih nggak berhak lagi untuk sekedar napas di depan Joana setelah apa yang udah lo lakuin," desis Ten.
Bugh!
Sekali lagi Ten mengayunkan kakinya dan menendang perut Tristan sampai cowok itu kembali mengerang kesakitan.
"Jangan pernah berani-berani ketemu sama Joana! Kecuali lo mau mati di tangan gue," ancam Ten kemudian berbalik dan meninggalkan Tristan yang masih terkapar di atas rerumputan taman rooftop.
Ten keluar dari lift dan berjalan gontai menyusuri koridor menuju ruangan divisi kreatif. Kedua tangannya masih saling mengepal. Pipi kanannya terlihat sedikit lebam dengan sudut bibir yang mengeluarkan darah. Tatanan rambutnya juga sudah berantakan begitu pula dengan kemejanya.
Kini, Ten sudah berdiri di depan pintu ruangan divisi kreatif. Tangan kanannya bertengger di ambang pintu untuk menyangga tubuhnya yang masih dipenuhi amarah menggelegak.
"Lho? Kak Ten? Kenapa?"
Dila baru aja datang dari toilet. Cewek itu langsung memapah Ten dan membawa Ten duduk di salah satu kursi yang ada di ruangan divisi kreatif.
KAMU SEDANG MEMBACA
30 Days With J
FanfictionJoana tidak akan menikah. Joana akan menghabiskan seumur hidupnya dengan melajang. Tapi insiden malam itu malah membuat Joana terjebak dengan Jeffrey, laki-laki yang terobsesi ingin menjadikannya pasangan hidup. Joana sudah menolak Jeffrey tapi Jeff...