Aku berbohong pada Alyssa, aku tetap menepati janji yang sudah ku rencanakan saat tadi.
Begitu sampai di tempat tujuan, ku lihat mereka sudah tiba duluan."Lu makeup dulu?"
Celetuk Mirzha.
"Biasa, lah. Bos datangnya kan terakhiran."
Sahut nizar juga.
"Ah, lu pada apa sih. Udah yuk, langsung cabut. Tadi gua diceramah pagi dulu sama Mama."
Jawab ku menumpas tuntas dengan segera basa-basi yang tidak jelas sama sekali.
"Oh iya, lupa. Rayyan kan anak Mami banget ya, Zha?
"Bener, Zar."
"Shut up. C'mon were go right now."
Aku langsung kembali menyalakan motor dan pergi duluan, seraya tanda agar tidak banyak waktu yang perlu terbuang sia-sia.
Sampai.
Sebelum masuk ke dalam, kami bertiga berunding untuk membagi tugas bagaimana nanti cara kerja saat sudah di dalam."Gini, ya. Gua bayar waktu, Nizar beli rokok, Mirzha beli makanan sama minum. Deal?"
"Ya, deal.
"Oke."
Mereka berdua sepakat dengan apa yang aku buat.
Bukan harga yang kami nilai, tapi kekompakan dalam kebersamaan."Ini mau main apa?"
Mirzha bertanya.
"Bully nggak, sih? Aturan mainnya kayak waktu kecil saja. Gantian, gimana?"
Aku menawarkan suatu permainan yang memang sedari kecil sudah kami mainkan.
"Boleh."
Jawab Mirzha.
"Terserah, ngikut gua."
Nizar menjawab seperti tidak peduli, namun tetap mengikuti.
"Oke, main Bully."
Pertanyaan yang selalu menemukan jawaban ketika bersama.
Sudah menjadi kebiasaan juga bagi kami jika menghadapi suatu hal dan tidak bisa di bereskan bersama, maka jalan keluarnya adalah bergantian.—Belum habis waktu pada porosnya.
Ku lihat mereka tertidur, padahal, bagian waktu ku sudah selesai, dan sekarang adalah giliran Nizar."Bangun, Zar. Ini bagian lu main sekarang."
"Lanjut saja, Ray. Atau nggak kasih Mirzha."
Dengan mata setengah terbuka, ia berbicara dengan nada tak jelas lalu menunjuk ke arah Mirzha yang posisinya tidak jauh dari posisi dia.
"Zha, bangun. Ini bagian lu sekarang buat main."
Aku berusaha membangunkan Mirzha untuk menggantikan posisi bagian Nizar.
"Ha? Lu lagi aja, Ray. Mata gua lima watt."
Mirzha juga menjawab hal yang sama dengan dengungan suara tidak jelas karena mungkin setengah dirinya belum sempurna.
Menjengkelkan memang, mereka selalu saja tak tahu kondisi dan aturan.
Terpaksa, aku melanjutkan sendirian.Waktu menunjukan pukul jam istirahat sekolah.
Ketika sedang asyik bermain, aku mendengar suara telepon berdering.
Sumbernya berada di saku jaket ku yang berada di tas.
Ternyata pas ku lihat, dari Alyssa.
Untuk menjawabnya, aku keluar dan menjauh agar tidak ketahuan."Halo? Kenapa, Sa?"
"Wa'alaikumsalam."
"YaAllah maaf, lupa."
"Assalammualaikum, kenapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...