Aku terbangun di sebuah pagi baru. Sebenarnya, pagi tetap sama.
Perputaran waktunya pun tidak ada yang berubah. Bulan terpaksa pergi, udara dingin yang semakin menjadi, dan mentari yang perlahan merangkak menuju tahtanya.
Hanya saja yang membuat terasa berbeda satu, yaitu tempat di mana aku berpijak dan pertama kali membuka mata kembali.Semalam, aku tidur terlalu lelap. Perasaaan lelah benar-benar menerpa sejak tadi malam. Aku tidak mengalami mimpi, mungkin otak dan hatiku sedang tidak ingin membuat skenario khayalan. Jadi, mereka benar-benar ikut beristirahat saat aku menutup mata.
Sebelum tidur, aku menghubungi semua orang-orang yang bersangkutan satu persatu.
Dalam artian, orang-orang yang mungkin menunggu sebuah kabar dariku.
Padahal belum genap satu hari aku menginjakan kaki di sini. Tetapi, rasa rindu akan mereka yang ku tinggalkan di hari kemarin mulai menyeruak lagi.
Ku lihat jam, ternyata waktu menunjukan pukul setengah tujuh pagi. Sial, aku terlalu nyenyak sehingga kewajiban yang perlu ku tunaikan tidak terlaksana dalam waktu yang tepat. Namun, tidak ada kata terlambat. Aku tetap beranjak dari kasur ke kamar mandi untuk bersiap menunaikan Shalat shubuh.
Kata Guru mengajiku, tidak mengapa jika memang terlambat. Asalkan satu, mau mengejarnya. Apalagi perihal akhirat, kita benar-benar perlu mengusahakannya.Kamar mandi yang ku pakai berada di dalam kamar. Mungkin bisa kau bayangkan betapa luasnya kamar yang ku huni sekarang ini sehingga kamar mandi sekalipun berada di dalam.
Setelah selesai semuanya, seperti menunaikan kewajiban, membersihkan diri, dan membereskan tempat tidur.
Aku keluar kamar untuk menghampiri Pamanku yang belum ku ketahui di mana posisinya sering berada, terutama di pagi hari seperti ini.
Alih-alih dalam pikiranku pun sebenarnya bukan semata-mata untuk mencari Pamanku saja, tetapi untuk mengisi tenaga kembali dengan sarapan karena semalam aku tidak ikut bergabung makan malam.
Oh iya, perihal mengapa aku tidak mengikuti makan malam bersama.. Aku memutuskan untuk berpura-pura tidur saat Bibi dan Pamanku mencoba mengajakku untuk makan malam. Entah mengapa tetapi rasanya selera makanku mendadak hilang karena.. Karena perasaanku sedang bergaduh bersama jalan yang berlainan arah.
Aku selalu tidak ingin menjalankan sesuatu ketika perasaanku tengah terpuruk atau sedang tidak enak, karena aku tidak ingin membuat lawan bicara atau yang sedang menghadapiku merasakan hal yang sebenarnya sama sekali tidak ia harapkan. Jadi, aku selalu bermain aman. Aku tidak ingin membohongi diri sendiri dengan berpura-pura.***
Aku berjalan menyusuri rumah ini. Sepanjang tadi aku berjalan, aku sama sekali tidak melihat satu pun orang. Bahkan, Bibi sekali pun tidak bertampak wujudnya.
Aku terheran-heran dan bertanya-tanya pada diri sendiri dalam batin,Ada apa sebenarnya sehingga penghuni di sini tidak tampak sama sekali di pagi hari?
Kemudian, aku berjalan ke arah luar rumah. Berharap semoga menemukan satu orang saja untuk bisa dipertanyakan.
Dan, ya, berhasil. Aku menemukan seseorang yang lain dan bukan adalah tujuan pertamaku saat pertama kali keluar kamar. Ya, Pamanku.
Beliau sedang duduk bersantai sembari memegang koran, sesekali diseruputlah kopi yang menemaninya di meja yang tersedia di depannya."Om?"
Ujarku menyapanya.
"Eh, Ray, sudah bangun ternyata."
Jawab beliau seraya menyimpan koran sejenak yang sedari tadi dipegangnya.
"Maaf ganggu, ya, Om."
Jawabku seraya mengambil posisi tempat duduk di samping beliau.
"Ah, tidak apa-apa. Santai. Kau semalam kelelahan, ya?"
"Iya, Om."
"Pantas saja semalam Om coba ketuk-ketuk pintu kau tidak keluar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...