Tutup.

20 8 0
                                    

Aku berjalan, ditengah bisingnya keramaian. Berat langkahku, meninggalkan jejak awal yang pernah kutempati sedari dulu, yaitu tanah kelahiranku dan pertemuan awal kita pertama kali bertemu.
Entah apa yang kurasa, masih belum jelas intinya.
Namun jika dalam bentuk deskripsi, aku merasa sunyi.
Aku duduk termenung, tatapanku begitu kosong melihat orang-orang sekelilingku lalu lalang dalam kepergian dan pulang.
Hatiku seperti tertinggal, karena ia masih tak mampu menerima seutuhnya sebuah alasan yang akan menjadi akhir dari segalanya.
Aku bingung, resah sekali rasanya.
Meratapi nasib hati dan pikiran yang tak pernah sepintas dalam paham, selalu beradu argumen dalam mewujudkan keputusan.

Kulihat jam dinding, waktu menunjukan pukul 14 : 00.
Artinya, waktu menyisakan 45 menit lagi untuk keberangkatanku pada tujuan. Dan aku harus melakukan transit sebanyak 4 kali untuk sampai di sana.
Sejenak, aku memandang satu-persatu manusia-manusia yang mengantarkanku menuju kepergian; Kepergian yang menjadi sebuah akhir dari perjalanan panjang.
Raut mereka begitu sendu dan gelisah, seolah tidak menerima. Padahal jika dijelaskan, perasaanku lebih dari mereka. Sebab, aku tidak ingin pergi. Namun takdir yang memaksaku untuk menyanggupi semua ini.

Aku berpikir, jika hastaku sudah melangkah pada pesawat, berarti aku sudah diharuskan siap meskipun tak tahu apa yang akan terjadi nantinya.
Curang, waktu sudah memakan habis detik demi detik namun aku tetap tak yakin dengan pilihanku sendiri.
Dan, hatiku masih tetap sama, masih bergumam pada pemiliknya yang lama. Tetapi, pikiranku sudah jauh membentangkan langkah menuju hal baru yang bisa kulaju dengan semangat menggebu demi mewujudkan banyak hal yang selama ini hanya terpendam.
Sebentar lagi, semua mimpi itu akan kuwujudkan dengan bangun.

Hening, tidak ada notifikasi pada diri.
Seolah semuanya dihentak bersamaan oleh pahitnya kenyataan.
Lalu, Pikiranku bergumam saat aku menatap kosong keadaan,
Yakin? Katanya.
Dan hatiku menjawab dengan gesit Sudah, gak usah pikirin dia. Aku yakin kamu pasti bisa melewati ini semua.

Benar kata hati, jika tinggal, aku akan terus menerus tersesat dalam pertanyaan.
Namun, jika pergi, aku pun akan meninggalkan sebelah diriku sendiri di sini.

Dasar munafik! Mereka berdua tetap tak ingin mengakui satu sama lain.

Pekikku keras kepada diri sendiri.

Waktu sampai, speaker Bandara mulai berkumandang, memperingati banyak orang yang merasa memiliki hak atas waktu tersebut. Lalu, menandakan bahwa giliran aku selanjutnya untuk pergi.
Aku bangun dari duduk, bersamaan dengan mereka yang mengantarkanku pergi.
Berusaha menguatkan diri untuk melangkah sampai menuju pesawat.
Namun sebelum itu, aku menghadap mereka semua.
Ada rasa getir dan lemas ketika memandangi wajah-wajah manusia yang sangat kuhargai keberadaannya selama di muka bumi ini.
Mungkin jika tanpa hadirnya mereka dalam menemani perjalananku sampai di titik sekarang, aku bukanlah apa-apa. Bahkan bisa dibilang hanyalah seorang manusia menyedihkan yang memiliki kesehatan mental yang kian hari kian melemah karena dipaksakan terus-menerus kuat oleh kenyataan yang ada.

"Ma, Ray pamit dulu, ya."

Aku meraih raga Mama, memeluk dengan seerat mungkin sebelum kepergian itu benar-benar dimulai. Karena, setelahnya, aku akan sulit meraih raga itu kembali dalam beberapa tahun lamanya nanti.

Tangisnya pecah, tak mampu mengeluarkan kata saat aku menyampaikan sebuah pesan sebelum kepergian tiba.
Aku mengerti, kata apa yang mampu terucap ketika seseorang mengalami keadaan yang membuatnya sulit dalam mengambil pilihan?
Selain hanya terdiam yang mampu diterimanya.

"Kak, gue pergi dulu, ya, jaga Mama sama Riza."

Setelah melepaskan pelukan Mama, aku menghampiri Kakakku yang berada tepat di sisi beliau.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang