Ketika sampai di rumah, aku langsung membersihkan diri.
Berencana untuk menyiapkan hal sebelum beraksi lagi.
Selepas membereskan semuanya, seperti mandi, shalat, dan makan. Aku berniat untuk mengabari sahabatku, untuk kembali mengajak bertemu, menumpas sisa siang tadi dan banyak sekali hal yang ingin kuceritakan saat pergi tadi.Baru saja beberapa langkah menuju teras rumah untuk menelepon sembari berjalan, sosok yang direncanakan untuk hadir sudah langsung berwujud di depan mata.
"Lho? Dari kapan? Gua baru mau ngabarin tadinya."
Ujarku pada Mirzha dan Nizar.
"Feeling doang, sih. Kebetulan ada."
Mirzha menjawab. Sementara Nizar, hanya mengangguk saja.
"Yaudah, masuk duluan. Mau ke warung sebentar."
Aku mempersilakan mereka masuk karena ada hal yang akan kulakukan terlebih dahulu sebelum bersua dengan mereka.
"Bareng aja ayo, sekalian juga."
Ternyata, saat aku hendak menyambut niat, mereka pun melakukan hal yang sama.
"Yaudah."
Lalu kami bertiga bergegas pergi ke tempat yang di tuju.
Sehabis dari warung, aku masih belum mengecek handphone. Karena, ya, memang, aku tidak terlalu memberatkan satu tujuan.
Sungguh, begitu bertemu mereka entah mengapa aku sangat antusias. Seperti menemukan mainan baru yang ku idam-idamkan.
Sampai-sampai aku tidak menyadari bahwa teleponku berdering sudah sekian kali.
Tiba-tiba Adikku membuka pintu kamar dan memberikan handphoneku."Mas, nih handphone. Tadi ada yang nelepon berkali-kali nggak ke jawab"
"Siapa?"
"Alyssa namanya."
Sontak aku kaget, kulihat waktu ternyata sudah dua jam lebih sehabis pulang bermain tadi.
Kucoba untuk menelepon balik, tapi tidak diangkat. Mungkin sudah tidur, entah handphonenya tertinggal dan dia sedang keluar. Yang terpenting aku sudah membalas, tinggal menunggu balik jawaban.Lalu, Mirzha bertanya.
"Oh iya, ngomong-ngomong gimana soal first date tadi sama Alyssa?"
"Alyssa siapa Zha? Yang mana?"
Potong nizar.
"Itu yang di pengajian, lu masa nggak ngeuh dah cewek secakep itu."
"Lupa ih, baru inget sekarang. Oh iya, gimana jadinya, Ray?"
"Banyak hal yang bikin seneng, tapi sedihnya juga."
"Mau cerita yang bagian mana dulu? Bagian seneng apa sedih?"Aku menjawab pertanyaan mereka dengan penawaran.
"Terserah lu aja itumah, yang enak duluan diceritain yang mana. Kita mah cuma yang denger. Ya, gak, Zar?"
Nizar menyetujui Mirzha dengan mengangguk, karena tidak sempat bicara sebab mulutnya disulut sebatang rokok yang hendak dibakar.
"Yaudah, sedihnya aja dulu, ya?"
Mereka hanya mengangguk mengiyakan.
"Ada hal yang bikin gua nggak enak, sampai sekarang. Yaitu omongan Abang Alyssa."
"Kenapa emangnya?"
Nizar memotong pembicaraanku dengan melotot keheranan.
"Sebentar, baru juga mulai."
Tumpasku pada Nizar.
"Oh yaudah, lanjut."
Ia menjawab dan mempersilahkan ku untuk meneruskan cerita.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...