Sesuai yang telah Nasya sampaikan kemarin lusa, hari ini aku memutuskan untuk menghadap kepada kepala kantor. Ya, Pamanku.
Dengan penuh rasa siap dan harap yang begitu tinggi, aku memberanikan diri melangkah untuk satu langkah lebih dekat pada suatu tahap berikutnya yang ada di dalam rencana.Ketika jam istirahat kantor tiba, hal yang pertama kulakukan adalah mendatangi ruangan Pamanku.
Kali ini, tidak seperti kemarin.
Tidak ada lagi langkah yang mencuri-curi dikarenakan rasa takut.
Aku sudah tidak peduli terhadap siapapun yang berpikir tentang hubungan diriku dan pihak yang memiliki kantor tersebut. Kalau pun pada akhirnya mereka mengetahui kebenaran yang ada, terserah.
Aku benar-benar tidak ingin lagi bersembunyi. Toh, jika ada yang berkomentar apapun, itu hak mereka.
Setiap manusia memiliki hak atas pendapat masing-masing, bukan? Sekali pun buruk, biarlah itu menjadi urusan dirinya sendiri.*Tok! Tok!! Tok!!!* Aku mengetuk pintu ruangan Pamanku.
"Silakan masuk."
Pekik beliau dari dalam menjawabku.
Lalu aku memasuki ruangan tersebut."Assalammualaikum, Om."
Aku mengucapkan salam terlebih dahulu sebagai kata pembuka pertama ketika sudah memasuki ruangan beliau.
"Wa'alaikumsalam, Ray."
"Nggak lagi sibuk, kan, Om?"
Ujarku memastikan beliau dengan bertanya.
"Enggak, kok, lagi santai aja. Kenapa?"
Jawab beliau dengan nada pelan seraya menatapku.
Perlahan, aku menarik nafas dengan dalam ketika beliau bertanya apa tujuanku kemari.
Ya, aku harus bisa dan berani mengutarakan semuanya.
Ujarku dalam hati, karena rasa nervous yang begitu tinggi. Sehingga, detak jantungku berdegup kencang tak beraturan.
"Berhubung sekarang sudah hari Jum'at, kan, Om.. Anu.."
Nada bicaraku menggantung.
"Kenapa?"
Tanya beliau menyergah pembicaraanku.
"Ray boleh ambil cuti satu hari untuk besok, Om?"
Akhirnya, setelah banyak menelan ludah dan berusaha melawan segala rasa yang mengganjal. Apa yang kuinginkan keluar juga.
"Boleh, kok, tapi cuti karena apa?"
Jawab beliau seraya tersenyum menatapku yang tertunduk.
Memang, setelah mengatakan hal itu aku langsung tertunduk karena malu. Tidak, tidak karena sesudah mengutarakan hal tersebut, sedari awal datang dan menghadap beliau pun aku menundukan diri dikarenakan rasa malu yang tengah menyergapku begitu tinggi.
Meskipun, ya, beliau adalah Pamanku sendiri. Tetapi jika di kantor, beliau tetaplah atasanku atau yang memiliki wewenang lebih atas segalanya disini. Seperti yang beliau katakan waktu itu, bersikaplah profesional meskipun aku dengannya mempunyai ikatan kuat dalam keluarga. Maka yang perlu kulakukan hanyalah bersikap seperti apa yang beliau perintahkan."Ray mau pulang ke Bandung, Om, akhir-akhir ini Ray sering kepikiran terus sama Mama dan Riza."
Aku menjawab pertanyaan beliau dengan nada yang sangat pelan, seolah seperti memelas permohonan agar beliau memberikanku kepercayaan. Dan ya, aku memang manusia brengsek. Perihal seperti ini saja aku tidak berani mengutarakan kejujuran yang ada, tetapi malah menggadaikan perasaan dan pikiran diri hanya demi berlangsungnya rencana dengan lancar dan masalahku segera tuntas.
Aku tahu, sikapku ini terkadang memang tak patut dihargai. Namun terkadang aku tidak memiliki cara lain selain melakukan hal seperti ini. Ya, berbohong; Hal yang paling ku benci dalam hidup.
Sebetulnya pun aku tidak berbohong sepenuhnya, aku pun merindukan suasana rumah yang selama ini jauh di sana, terutama Mama, Kakak, dan Riza, pastinya. Tetapi tetap, hal paling besar yang ku perjuangkan untuk pulang sementara adalah Alyssa.
Dan, maaf, bukan mereka penyebab utamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...