Belum genap hari cuti dalam libur, namun aku memilih untuk kembali ke Bali. Entahlah, rasanya untuk sekarang aku tidak ingin berada di kota ini. Begitu sesak dan penuh kenangan yang menyisa dengan Alyssa, sehingga selintas mengingatnya saja, membuat telingaku berdengung keras dan kepalaku selalu terasa berat.
Keesokan harinya, setelah bertemu Nizar, aku memutuskan untuk memesan tiket pesawat.
Sarat sebenarnya, rindu ini belum terkuak tuntas, tetapi pikiranku sudah terlalu terdistrak oleh kejadian malam paling bengis.
Aku tidak memberitahukan alasan paling akurat kepada Mama tentang bagaimana bisa aku kembali pergi untuk membentang jauh ke sana lagi. Yang jelas, aku beralasan tidak make sense. Aku berbohong. Entah benar atau pun salah, aku sudah tidak peduli. Bagiku, untuk sekarang, jalan satu-satunya dalam meredam perasaan yang berkecamuk adalah pergi.Semua sahabatku terkesiap tidak percaya, ketika aku mengatakan bahwa aku harus kembali lagi ke sana dengan alasan seperti. Namun, raut mereka seolah tidak bisa berbuat apa-apa. Seperti memasrahkan kehendak yang akan kuputuskan untuk sekarang.
Sungguh, aku pun tidak ingin.
Sangat-sangat tidak ingin pergi ke sana, terlebih di situasi sekarang, saat rindu dan waktu belum terpecahkan semua kepada orang-orang terkasih.
Tetapi, aku pun tidak ingin kalah, aku tidak ingin lagi dipaksa berserah pada keadaan, sebab, ternyata menyakitkan jika terus-menerus berkata 'iya' pada sesuatu yang sebenarnya aku tidak bisa.***
Jadwal penerbanganku dimulai pukul 2 siang. Kebetulan, tiket yang tersisa dan kosong hanya di waktu itu saja.
Aku diantar oleh sahabat-sahabatku. Kali ini, Mama tidak ikut, sebab ada urusan yang lebih penting yang perlu beliau lakukan, katanya. Perihal itu, aku tidak masalah. Sama sekali tidak diberi hati yang kecil karena Mama tidak bisa ikut mengantarku sampai di Bandara.Kami berlima duduk di sebuah cafe untuk menunggu jadwal penerbanganku tiba.
Tidak banyak yang kami bicarakan, bahkan kami seperti manusia yang baru saja mengenal.
Egois memang, sikapku yang seperti ini, sehingga melibatkan orang lain ikut berpikir atas sesuatu yang menimpaku sendiri.
Entahlah, aku tidak sempat menanyakan alasan mereka yang tetap bersikukuh mengantarku ke sini. Yang jelas dan masuk dalam arti adalah rasa peduli karena ikatan kami lebih dari pertemanan biasa.
Ya, bisa dibilang, jalinan ikatan yang kami buat seperti keluarga kedua.Akhirnya, waktu keberangkatanku tiba. Suara speaker Bandara tentang jadwal penerbangan dalam waktu sekarang mulai berkumandang, memberi peringatan terhadap siapa pun yang merasa memiliki hak atas waktu tersebut.
Aku mulai beranjak dari tempat duduk. Sejenak, memandang secara bergilir pada mereka yang masih tertunduk di sebuah kursi yang tertata rapih."Jadwal gue udah sampai."
Ujarku lugas untuk menggusarkan kediaman mereka yang menatap kosong objek yang berada di depan mata.
Respon mereka serentak menoleh, kemudian hanya menganggukan kepala sebagai tanda setuju tanpa memberikan kaimat yang keluar dari mulut.
Tanpa berpikir kembali, aku mulai melangkahkan kaki seraya membawa barang-barang yang sudah kubawa.Setelah sampai di pintu yang akan menjadi gerbang perpisahan antara aku dan sahabatku yang lain.
Aku menoleh ke belakang, menatap satu-persatu wajah mereka yang hanya diam tanpa bersuara."Gue pergi sekarang, maaf."
Tandasku mantap seraya mengulurkan tangan pada mereka untuk dijabat.
"Iya. Hati-hati."
Jawab salah satu temanku, Wisnu. Yang lain hanya terdiam, menjawabku dengan respon tersenyum simpul dan mengangguk.
Tanpa mengulur waktu kembali, aku langsung membalikkan badan dan berlalu dari hadapan mereka tanpa mengeluarkan satu patah kata pun.
Jika sebelumnya, saat pertama kali aku pergi dari sini, perpisahanku disambut dengan perayaan pelukan hangat. Sekarang, tidak.
Entah aku yang terlalu egois, atau mereka yang terlalu serius menanggapi sikapku yang seperti itu.
Padahal, aku sudah mengatakan kepada mereka untuk jangan sampai terlarut dalam masalah yang sedang ku gerus setelah menceritakan semuanya tentang kejadian malam itu, malam yang menyebabkanku memilih jalan ini.
Tetapi, mereka seolah bersikukuh dan bertingkah keras.
Sengaja mengorbankan diri dengan ikut masuk pada masalah-masalah yang tengah menggempur pikiran dan perasaanku.
Harusnya mereka mengerti, bahwa jika mereka tetap memaksa untuk masuk, yang mereka tuai hanyalah sebuah kekosongan yang tak memiliki jawaban.
Maka dari itu bukanlah salahku sepenuhnya, kan? Aku sudah berusaha memperingati, perihal sisanya itu hak mereka.
Aku mengetahui, aku sadar, mereka menyayangiku, mereka tidak ingin aku sendiri dalam memerangi nasib pahit ini, tetapi, aku bukanlah orang yang senang berbagi dalam masalah.
Seperti yang pernah kukatakan diawal, selagi aku mampu menampungnya sendirian, aku tidak akan pernah melibatkan siapa pun. Tidak ada pengecualian, tidak ada yang dibanding-bandingkan.
Ya, itu memang sebuah prinsip yang mungkin akan ku pegang teguh sampai mati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...