Time does flies

25 18 0
                                    

Satu tahun berlalu, entah apa yang semesta rencanakan terhadap waktu, rasanya ini begitu cepat sekali.
Hubunganku dengan Alyssa semakin lama semakin membaik, dan kami pun jarang bertengkar selama satu tahun menjalankan hubungan ini.
Sebuah pesan dan harapan yang Ibuk Alyssa sampaikan saat itu ketika aku habis mengantarkan Alyssa pulang ke rumah dan disambut olehnya, sudah terwujud. Keluarga kami sudah saling mengenal 6 Bulan lalu, melewati pertemuan yang sudah ku rencanakan matang-matang bersama Alyssa.
Namun, tidak dengan ikatan persahabatan yang sudah ku jalin sedari kecil.
Semuanya tetap berantakan, entah mengapa semenjak hadirnya Wisnu dan Rian yang ku anggap sebagai pengganti Mirzha dan Nizar, mereka semakin enggan diajak untuk kembali bersama. Aku pernah mencoba menghubungi mereka, namun tidak mendapati jawaban. Pesan tidak dibaca, panggilan tidak diangkat.
Pernah satu waktu kami berpapasan tidak sengaja saat tengah berjalan bersama Wisnu dan Rian, kebetulan aku pun telah mengenalkan Rian pada Wisnu, pun begitu sebaliknya. Karena canggung dan bingung, aku kehabisan akal untuk mengeluarkan kata. Jadi, kami hanya saling berpapasan dingin saja dan membuang arah muka layaknya manusia yang tidak pernah saling mengenal. Menyakitkan, memang. Sebuah benteng yang dibangun dengan fondasi terkokoh selama bertahun-tahun lamanya, harus ditinggalkan karena sebuah keegoisan.
Tapi apa boleh buat, jika ternyata waktu belum ingin berkehendak sebagaimana mestinya, kita hanya perlu menunggu sampai suatu hari nanti jawaban itu keluar tanpa diminta. Dan aku selalu berharap, jika nanti waktu memberikan jawaban terhadap apa yang selama ini ku gerus untuk mengembalikan keadaan, persahabatan kami tetap bisa kembali dan terjalin baik layaknya dulu. Ikatan persahabatan tiga manusia yang mempunyai masing-masing kekurangan namun saling menguatkan. Ya, sebuah kurang yang diutuhkan.
Dan semoga jika nanti waktu memberi jawaban dan semesta berkenan, persahabatan ini berlanjut baik dengan tambahan personil baru.
Saling menerima, saling mengutuhkan. Sama seperti dulu yang ku pegang dengan Mirzha, dan Nizar.

Di tahun ini, aku sudah lulus dalam menempuh pendidikan menengah akhir. Beda dengan Alyssa, ia harus menempuh satu tahun lagi sisa pendidikan tersebut sebelum melanjutkan ke arah mana nanti yang ia putuskan.
Aku terpilih sebagai siswa terbaik yang menduduki peringkat pertama pada tahun angkatan ini,
dengan meraih nilai tertinggi saat ujian nasional.
Setelah mendengar informasi tersebut, orang-orang sekitarku bahkan guru-guru banyak sekali yang menyarankanku untuk masuk ke universitas negeri yang memiliki dedikasi tinggi demi melanjutkan hal yang sudah ku raih, tak jarang pula Universitas lain setelah mendengar informasiku ini menawarkan untuk melanjutkan jenjang pendidikan dengan gratis selama menempuh pendidikan tersebut. Tapi, aku menolak. Aku menolak semuanya.
Tidak ada yang ku terima sama sekali, satu pun. Bahkan, sebuah Beasiswa legit yang ditawarkan salah satu Universitas negeri di kota Yogyakarta tidak ku terima.
Padahal keseluruhan pihak tersebut siap menyanggupi apapun tanggungannya ketika aku sudah menempuh di Universitas tersebut.
Bukan karena aku tidak bersyukur atau enggan memiliki hal itu, bukan. Hanya saja, ada satu hal yang membuatku sangat suntuk dan terpuruk untuk melanjutkan pendidikan dan menerima hal tersebut.

Satu hari setelah aku menyelesaikan ujian nasional, aku mendapatkan kabar buruk.
Papa tiba-tiba terjatuh di tempatnya bekerja dan pingsan. Seluruh teman-teman di kantornya membawa ke rumah sakit terdekat untuk segera di cek apa penyebabnya. Ternyata, Papa terkena serangan jantung. Diakibatkan tekanan yang begitu kuat menyerang pikirannya dan pada akhirnya menyebabkan hipertensinya sangat tinggi, sehingga pembuluh darahnya tersumbat. Setelah kejadian itu, selama tiga hari total Papa tidak sadarkan diri. Tapi berkat anugerah dan keajaiban yang Tuhan berikan, Papa kembali membuka matanya, meskipun harus menjalani hidup sementara dengan stroke.
Dokter bilang butuh waktu yang lama untuk mengembalikan Papa dalam keadaan normal dan sembuh, asalkan rutin terapi.
Akhirnya, Papa dipecat dari perusahaan tersebut karena sudah tidak lagi bisa diandalkan.
Picik memang kehidupan, tidak pernah mau mengerti dan peduli pada keadaaan yang menerpa.
Itulah alasanku mengapa menolak segala tawaran untuk melanjutkan pendidikan.
Cukup sampai disini saja aku menjadi beban, sisanya aku ingin belajar berjalan menggunakan kedua kakiku sendiri tanpa bantuan orang lain.
Meskipun Mama bersikeras menyarankanku untuk tetap melanjutkan pendidikan selanjutnya, karena katanya sangat disayangkan jika sesuatu yang ku raih dengan susah payah harus terhenti begitu saja karena suatu hal. Tapi bagiku, tidak ada yang perlu disimpuh pada harapan, aku tetap menentang dan memikirkan realita saja.
Aku hanya ingin menjadi manusia yang menimang kenyataan yang benar-benar ada di depan mata, bukan sesuatu yang tidak jelas unsurnya.

Setelah menerima gelar sebagai siswa terbaik di sekolah, bukannya kebaikan yang ku terima disetiap harinya, tetapi sebuah kebalikan yang membuatku semakin benci pada harapan.
Hampir setiap hari aku berselisih pendapat dengan Mama perihal ini, sudah ku jelaskan berkali-kali bahwa aku tidak ingin.
Tapi, Mama tetap keras dan egois. Tidak mau mengerti apa yang ku rasakan saat ini.
Sampai suatu hari, pertengkaran hebat terjadi di pagi hari.

"Mama hanya ingin kamu melanjutkan pendidikan, Ray, tidak lebih. Jangan pernah khawatir dan berpikir keras tentang bagaimana nanti kehidupan sehari-harinya. Perihal tunggakan, tabungan Mama dan uang pensiun Papa masih sanggup untuk menuntaskan semuanya hingga kamu lulus nanti. Soal hidup sehari-hari, Kakak kamu masih bisa menyanggupi."

"Aku tidak ingin, Ma. Aku tidak ingin lagi menjadi sebuah beban. Biarlah tabungan itu Mama simpan untuk realita yang lebih nyata, soal uang pensiun Papa pakailah untuk keperluan Riza. Sebentar lagi dia masuk sekolah menengah pertamanya, bukan? Sudahlah. Tidak usah pikirkan aku bagaimana, Riza harapan yang lebih nyata jika memang Mama ingin berharap."

"Lalu? Kau ingin menjadi apa, Ray?!"

Nadanya membentak dan meninggi.

"Aku hanya ingin menjadi manusia, Ma! Aku ingin menjadi manusia yang dimanusiakan! Apakah sebuah kesalahan yang fatal jika aku lebih memilih menyatakan apa yang ku inginkan dibanding memilih sebuah opsi yang sama sekali tidak ku harapkan?! Jangan ragu padaku, Ma. Ku mohon. Aku bisa tetap hidup sekali pun mimpi-mimpi itu mati."

Aku tidak ingin kalah, aku membalas perkataannya dengan nada yang sama. Aku tahu ini tindakan yang salah, tapi aku pun tidak ingin disalahkan.

"Ya sudah, lama-lama Mama lelah. Terserah kau ingin jadi apa, Mama tidak akan peduli dan tidak akan mengais harapan terhadapmu lagi."

Dengan nada lemas, beliau menyatakan hal tersebut dan berlalu di hadapanku. Seolah benar-benar pasrah atas apa keinginanku.
Aku terdiam, membisu. Tertunduk lemas, seperti setengah mati setelah melalui perdebatan itu dan mendengarkan perkataan terakhir yang Mama sampaikan untuk menutup semuanya.

***

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang