Seperti biasa, waktu berjalan pelik.
Kejam dalam memakan detik demi detik. Tidak terasa, langit yang berwarna cerah tadinya perlahan memudar. Matahari sudah memberi tanda dengan berpindah ke diamannya ke arah barat.
Aku dan Alyssa memutuskan untuk segera bersiap-siap pulang sebelum waktu mengambil alih kembali semuanya dengan paksa.
Sebab, ada pesan yang perlu dijaga.
Kami kembali berjalan kaki seperti halnya tadi saat masuk ke tempat ini.
Dari awal perjalanan bahkan hingga sampai tengah perjalanan seperti sekarang, aku selalu mengamati gerak-geriknya dari atas sampai bawah. Entah mengapa, senang saja rasanya. Benar-benar tidak diberi rasa bosan sedikit pun.
Saat di tengah perjalanan, Alyssa diam. Menekuk lutut seperti bagian gerakan shalat, nafasnya terdengar berderu begitu kencang."Istirahat dulu sebentar, ya? Capek."
Katanya, sembari menyusut keringat di dahi yang sedang berselancar begitu deras. Aku tersenyum, tapi aku menolak permintaannya tersebut. Aku mengulurkan tangan seolah mengajukan sebuah permintaan untuk di persetujui tawarannya.
"Istirahatnya nanti saja, di motor. Hari sudah mulai semakin gelap, kita sedang mengejar waktu agar tidak terlambat sampai di rumah. Mari, ku gendong agar cepat."
Aku membalikkan arah badan dan sedikit membungkuk seraya melingkarkan lengan layaknya kera yang akan melakukan atraksi di sebuah pertunjukan.
"Kamu sungguh akan membawaku?"
Tanya Alyssa setengah ragu.
"Iya, sungguh. Cepat naiklah."
Aku meyakinkan perasaannya yang setengah ragu itu dengan tegas, agar kepercayaannya penuh dan tidak berceceran.
Lalu tak lama ia naik ke punggungku dan melingkarkan lengannya di pundakku. Seperti hal pada umumnya manusia sedang digendong.
Ketika posisi sudah seimbang, aku memulai perjalanan kembali.
Baru mulai beberapa langkah, dia sudah bertanya."Ray, kamu sudah lelah?"
Aku tidak menjawab, hanya diam dengan deru nafas yang terengah-engah karena lelah dan berat yang tidak ingin ku sampaikan. Sebab aku tahu pertanyaan itu akan terus mengulang sebelum benar-benar sampai, jadi ku diamkan saja hingga nanti sudah tiba di penghujung yang dinantikan.
Namun, Alyssa tetap Alyssa. Perempuan dengan seribu perasaan, pertanyaan, dan kekhawatiran. Ia terus bertanya akan keadaanku selama menggendongnya. Seperti:
"Ray, kamu masih kuat?", "Ray, aku berat, nggak?", "Kalau capek, gak pa-pa, Ray. Aku turun saja."Terus menerus berulang seperti itu, tidak ada yang berubah dari pertanyaannya itu. Hingga akhirnya aku geram, aku menjawabnya agar ia diam dan tetap nikmati saja apa yang ingin ku lakukan.
"Sa, aku kuat. Sudahlah, yakin saja aku tidak kenapa-napa, jangan terus menerus mengulang pertanyaan yang sudah tidak dijawab. Toh, aku yang meminta semuanya, bukan? Jadi apapun resikonya, aku siap untuk menanggung semuanya."
Setelah aku mengatakan hal itu, Alyssa benar-benar diam. Tidak mengajukan pertanyaan apapun lagi.
Dan aku bisa fokus mengatur semuanya agar tetap seimbang.Lalu, sampai.
Aku meregangkan badan perlahan untuk kembali menstabilkan keadaan. Alyssa masih tetap diam, wajahnya setengah cemberut dan kemelut. Aku paham akan apa yang terjadi, pasti soal perkataan yang ku sampaikan tadi. Tanpa bertanya soal mengapa ia bertingkah seperti itu, aku langsung merengkuhnya dan mengusap rambutnya seraya berkata."Aku tidak marah, Alyssa. Hanya saja aku malas jika diragukan. Cukup percaya saja jika aku sedang mengajukan sesuatu dengan yakin, ya? Aku pasti bisa, kau pun tahu itu, bukan?"
Setelah aku mengatakan hal itu, dia memelukku. Aku tersenyum dan membalasnya dengan dekapan.
"Sudah tidak ada waktu untuk berlama-lama, ini bisa kita lakukan lagi lain waktu. Sekarang, waktunya naik ke atas motor dan segera pulang."
Dengan penuh kelembutan dan perlahan, aku melepaskan pelukannya. Ia pun mengerti.
Lalu kembali ku raih jemari tangannya itu untuk segera beranjak pergi.Di perjalanan, tidak banyak yang kami bicarakan. Mungkin karena sudah sama-sama saling kelelahan karena perjalanan tadi yang benar-benar menguras semuanya.
Sesekali, ku usap dengkulnya saat berada di perempatan lalu lintas dengan sedikit berbisik agar jangan sampai ketiduran. Sebab, sesuatu yang diluar dugaan bisa terjadi kapan saja.Waktu perjalanan pulang sering kali lebih cepat di banding saat pergi.
Ya, kami berdua sudah sampai di rumah. Disambut hangat oleh Ibuk Alyssa yang sudah menunggu di halaman."Apa saya tepat waktu, Buk?
Tanyaku pada seorang wanita paru baya yang berdiri dengan senyuman manisnya saat kami berdua sudah menghampirinya dan memberikan salam.
"Tepat sekali. Terima kasih, ya, Nak Rayyan. Selalu berusaha menepati sesuatu yang dititipkan."
"Sama-sama, Buk. Dengan senang hati."
"Mau masuk dulu sebentar? Ibuk akan buatkan kopi atau teh, apapun yang kamu mau."
"Tidak usah, Buk. Terima kasih banyak atas tawarannya. Hari sudah semakin gelap, saya perlu pulang secepatnya karena di rumah ada yang menanti saya kembali."
Wanita yang sedang mengenakan daster bermotif bunga mawar berwarna putih itu tersenyum setelah aku mengatakan hal itu, lalu ia menggenggam pundakku seraya berkata.
"Anak baik. Hati-hati, ya, Nak. Salam pada Ibukmu, semoga suatu hari nanti kami bisa bertemu."
"Baik, Buk. Akan saya sampaikan. Saya pamit pulang, ya, Assalammualaikum."
Seperti diberi lampu hijau sepanjang jalan perjalanan ke suatu tempat, aku sangat senang ketika Ibuk Alyssa mengatakan hal itu.
"Hati-hati, Ray.."
Lirih sendu dari gadis kecil disamping wanita paru baya itu sambil melambaikan tangan, aku membalasnya dengan tersenyum seraya mengangguk.
Aku berlalu dari hadapan mereka.
Di perjalanan, perasaanku benar-benar dihujani rasa senang.
Ingin sekali aku berteriak dengan kencang sebagai gambaran bagaimana bahagianya perasaanku saat ini.
Semesta, terima kasih tlah sangat baik. Aku tidak tahu harus membalas budi dengan melakukan hal apa, namun aku bersyukur bisa mencakup beberapa bentuk anugerah meskipun tidak semuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...