Saat sedang asyik berbincang bersama, aku tercekat sendirian karena sebuah dering telepon yang bergetar. Setelah kulihat, ternyata dari Alyssa.Kedua sahabatku pun ikut terdiam saat mengetahui bahwa pucuk yang dinanti telah tiba.
"Eh, sebentar. Gua angkat telepon dulu, ya."
Aku meminta izin pada mereka berdua, dan dengan menyetujuinya mereka hanya melakukan gerak isyarat dengan menganggukan kepala.
Lalu, aku pergi menjauhi mereka untuk sementara.
"Assalammualaikum, hei?"
Topik pembicaraan kubuka dengan salam.
"Wa'alaikumsalam, Ray. Kayaknya, aku bisa pergi."
Mendengar jawabannya langsung dengan point tanpa basa basi, dalam hati aku berteriak Yes!
Namun dasar, jawaban tersebut kurang memuaskan sebab ada hal yang diragukan karena kata diawal."Bisa pergi atau masih kayaknya? Kalo memang tidak bisa, jangan memaksakan. Tolak saja dengan alasan, tidak usah bersembunyi dari perasaan tidak enak."
Dengan tegas aku menjelaskan.
"Bukan gitu, Ray.. Aku bisa pergi, kok, sebenarnya. Cuma—"
Alyssa menyuarakan namun tidak jelas, panjang seperti kebingungan.
"Cuma kenapa?"
Aku memotong perkataannya yang menggantung tidak jelas.
"Anu.. Ray.. Mmm..."
Semakin samar saja jawabannya, aku semakin tidak mengerti apa maksudnya.
"Tidak usah terburu-buru, nyatakan pelan-pelan. Kenapa?"
"Bukannya saya sudah bilang bahwa jika memang tidak, katakan saja. Tidak usah bergantung pada perasaan yang tidak sejalan."Aku berusaha menjelaskan lebih tegas kepada nada kebingungannya.
"Itu lho Ray.. Mmm.. Sebenarnya aku malu."
Setelah mendengar alasannya mengapa seperti itu, aku menepuk jidat dan menghela nafas dengan panjang.
"Astaghfirullah.. Hanya itu yang ingin kamu sampaikan?"
"Sudahlah, jika memang bisa. Segera siap-siap. Sebentar lagi saya berangkat. Kamu tentukan saja ingin kujemput di mana, jika sudah saya pasti langsung pergi ke tempat yang sudah ditujukan.""Tapi Ray.."
Nadanya menjawabku semakin merendah.
"Sudah, tidak apa-apa. Tidak perlu ada tapi. Ketika sampai menjemputmu nanti dan membawamu, akan saya ubah rasa malu serta canggung itu menjadi perasaan senang."
Aku meyakinkannya dengan mantap kepada keraguan yang tengah menyelimutinya.
"Mmm.. Baiklah."
Alyssa menjawab dengan nada yang semakin turun seperti sendu.
"Saya jemput di mana?"
Tanyaku seraya mengalihkan jawabannya yang masih terlampau ragu.
"Kamu tahu PT. Gas LPG, bukan? Yang saling berhadapan dengan Apotik Kimia Farma?"
Ya, pengalihanku berhasil meskipun nada suaranya tidak berubah tapi setidaknya dia menjelaskan apa yang harus kutuju nantinya.
"Tahu."
Jawabku dengan singkat.
"Ya, di sana aja."
"Baiklah. See u."
Karena misi sudah selesai, target yang di tuju pun sudah ditentukan, jadi tanpa banyak basa-basi kututup saja teleponnya.
Lalu, aku kembali menghampiri mereka berdua dan meminta izin bahwa hal yang direncanakan tadi akan terjadi sebentar lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...