Pemberitahuan

15 18 0
                                    

Aku sampai di rumah, tapi yang ku harapkan untuk menyambutku datang tidak ada. Ya, Mama dan Riza. Aku tidak melihat mereka berdua disetiap sudut rumah. Hanya terdapat Kakakku yang sedang bermain playstation di ruang tengah dengan badan yang telanjang, tidak mengenakan atasan sedikit pun. Hanya celana pendek untuk dalaman celana formal. Kelihatannya dia habis pulang dari tempat kerja, namun belum membersihkan dirinya sendiri, malah langsung mencari kesenangan tanpa membereskan apa yang sudah menjadi dasar hidupnya. Dasar, benar-benar manusia tidak disiplin.
Jikalau soal Papa, aku mengerti kalau beliau tidak ada di rumah. Karena suatu alasan yang akurat, yaitu lembur di tempatnya bekerja. Jadi, aku tidak begitu bertanya-tanya sebab sudah mengetahui jawabannya.

"Kak, Mama sama Riza pada ke mana, ya?"

Aku bertanya untuk memastikan sesuatu yang ku cari ini ke mana arah perginya, barang kali seseorang yang ku pertanyakan ini mempunyai sebuah jawaban.
Tapi, dia tidak menjawab. Dia mengabaikan pertanyaanku dan tetap fokus pada apa yang sedang ia pegang.
Geram sekali rasanya pada manusia autis satu ini jika dipinta sesuatu apapun bentuknya, selalu tidak peduli dan benar-benar tidak menghiraukan sama sekali.

"Kak?!"

Karena kesal, diberi sikap baik-baik tetap tidak mengerti, akhirnya aku bertanya dengan nada tinggi agar membuatnya sadar.

"Mana gua tahu, goblok. Lihat, nih, gara-gara lu gua jadi kalah."

Kau lihat reaksinya seperti apa manusia autis mengesalkan satu ini? Ya, benar-benar tidak tahu diri. Dibaiki salah, diperlakukan seperti apa yang ia lakukan enggan.
Malah memperkeruh keadaan dengan menyalahkanku atas apa yang ia sudah ia lakukan sendirinya.
Cih, kalau saja hukum hidup di dunia ini legal dalam membunuh seseorang dan tidak mendapatkan dosa dalam syariat agama, ku pastikan orang pertama adalah dia, Kakakku sendiri. Jalan ninja sasuke akan ku teruskan tanpa diminta, sungguh.

"Kalau kata gua lu sakit, anjing."

Sembari membalikkan badan dan pergi dari hadapannya, aku mengatakan hal itu sebagai penutup.

"Ngomong apa lu tadi? Coba ulang dan bilang langsung sekali lagi?"

Pernyataan yang ku akui sebagai penutup, ternyata malah menjadi gerbang pembuka untuk hal lain yang memacu isi demi isi alur cerita.
Dia memintaku untuk mengulang dan kembali menyatakan apa yang tadi ku katakan, apa boleh buat, ini sebuah perintah, kan? Jadi ku lakukan saja.

"Lu sakit, anjing. Cepet sembuh, deh."

Aku membalikkan badan kembali seraya mengatakan hal yang dipintanya.

"Lu emang kebangetan anjing gua diemin akhir-akhir ini."

Dengan membantingkan stick yang dipegangnya, ia beranjak dari tempatnya diam dan segera berjalan ke arahku dengan mimik muka yang terlanjur geram memerah seperti siap menerkam.
Kejadian ini memang seperti dejavu, karena hampir mirip setiap gerak-geriknya seperti ketika terjadi pertengkaran tengah malam kala itu, namun ini benar-benar terulang nyata.
Dia menarik kerah bajuku dan mendorongku ke tembok seraya mengepalkan tangan dengan sekuat tenaga untuk bersiap mendaratkan pukulan padaku.

"Apa? Mau pukul gua? Kenapa ga langsung aja? Lu pikir gua bakal gemeter dan minta maaf, gitu? Kalau lu berpikir kayak gitu, sorry, gua udah bukan anak-anak lagi. Jelas-jelas disini yang salah tuh lu, dasar manusia gak tahu diri."

Setelah aku mengatakan hal itu, kepalannya yang sudah disiapkan benar-benar siap lepas landas dan akan mendarat dengan cepat.
Namun ternyata, gagal. Pesawat yang tadinya sudah mulai terbang tinggi tiba-tiba harus jatuh begitu saja.
Itu semua tidak terjadi karena tiba-tiba Mama dan Riza berwujud langsung di hadapan kami berdua seraya berkata.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang