Jangan pergi lagi, kumohon.

16 8 0
                                    

Hari demi hari terus bergulir. Semakin hari, aku semakin dekat dengan Nasya, semenjak hari itu.
Kedekatan kami memang semakin lekat. Seperti diantaranya sering menunggu satu sama lain dalam mengerjakan deadline, bahkan saling membantu jika salah satu dari kami kesulitan, pergi berdua ke tempat-tempat yang belum pernah kujamah selama berada di sini sembari berbagi cerita, dan juga antar jemput. Baik pergi, mau pun sepulang waktu kerja.
Bahkan tak jarang pula orang-orang disekitar kami menganggap bahwa kami berdua sepasang kekasih.
Memang bukan hal yang diherankan jika mereka berasumsi seperti itu, karena aku pun terkadang merasa bahwa saking dekatnya hubunganku dengan Nasya, kami berdua seolah seperti dua manusia yang menjalin hubungan serius. Padahal, sedikit pun memiliki perasaan padanya saja aku tidak ada. Aku hanya menganggap Nasya sebatas sahabat, tidak lebih. Pun begitu ia padaku.
Sedari awal, kami berdua saling berkomitmen dalam menjalani ikatan ini, untuk mengatakan tidak pada perasaan jika tiba-tiba terbesit pikiran untuk lebih dari semua ini dan berniat serius dalam menjalani hubungan. Mengapa? Agar hubungan yang kami jaga ini tidak hancur, tidak untuk yang kedua kalinya. Sebab, cukup sampai kemarin saja aku merasakan kehilangan. Dan untuk kali ini, aku ingin egois. Aku tidak ingin Nasya hilang, tidak lagi, tidak siapa pun.

Aku sudah kembali ke rutinitas biasa sekarang, yaitu mengisi hari-hari dengan melakukan pekerjaan yang memang menjadi kewajiban kedua setelah beribadah. Ya, untuk menyongsong mimpi dengan segera yang sudah menanti di depan mata.
Liburku sudah usai, kekosonganku selama itu pun sudah mulai tergantikan oleh adanya Nasya.

***

Di tengah-tengah kesibukan yang sedang kugerus, tiba-tiba teman sekantorku yang memang menjadi bagian menerima klient menghampiriku. Katanya, ada seseorang yang ingin bertemu denganku. Aku sempat bertanya, siapa sosok itu, tetapi ia enggan menyebutkan. Cukup datangi saja, katanya. Sebab, seseorang itu tidak ingin menyebutkan identitasnya.
Tanpa mengulur waktu, karena rasa penasaranku mulai bergejolak, aku langsung menghampiri sosok tersebut untuk memastikan ada perlu apakah ia sampai berlaku seperti demikian padaku.
Mungkin saja, hal genting yang memang benar-benar penting.

Langkah demi langkah mulai kupijak, aku mulai menjauh dari meja tempat bekerjaku untuk segera memastikan siapa dalang dibalik itu sampai tidak ingin menyebutkan identitas aslinya.
Begitu pintu lift mulai terbuka dan aku mulai keluar, aku terdiam seketika. Pijakanku seolah merekat pada bumi yang terus berputar.
Ternyata, sosok tersebut merupakan gadis yang menyakiti pada malam itu. Ya, Alyssa Putri Anjani.
Tubuhku mendadak dingin seketika, terpaku karena tidak percaya atas apa yang tengah kusaksikan sekarang. Seperti mimpi, tetapi ini benar-benar terjadi. Berulang kali aku mengucek-ngucek bola mata untuk memastikan, sesekali menampar wajah dengan tangan agar aku segera tersadar dari mimpi yang sedang membuaiku sekarang.
Namun, desis darah mengalir dari dalam mengalir cepat, merasakan sakit yang benar tanpa rekayasa.

Aku tidak bermimpi, ternyata ini nyata.

Aku bergumam dalam hati setelah merasakan nyeri karena tamparan yang didaratkan diri sendiri.

Gadis itu mulai melangkah mendekatiku, mata binarnya yang menatap tak lepas ke arahku membuatku semakin percaya bahwa ini benar-benar bukan sebuah buaian mimpi. Melainkan kenyataan yang benar-benar terjadi.

*BRUUKK!* Suara benturan dua raga yang dipaksa menyatu.

"Ray.."

Lirih Alyssa, mengekspresikan kesedihan lewat tangisan dan isak suara yang terdesak.

Aku masih terdiam, tercenung kosong dan terpaku pada kejadian yang tengah menimpaku sekarang.

Semesta, kau sedang tidak bercanda, kan? Gadis ini.. Adalah gadis yang masih kucintai meskipun ia pernah membuatku merasakan sakit yang luar biasa, bukan?

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang