Selesai.

16 8 0
                                    

Aku menjauhi Naya, sesuai pinta Alyssa. Agar hubungan kami berdua baik-baik saja. Sebab, aku tidak ingin mendengar kata selesai itu kembali diutarakan. Aku takut kehilangannya. Aku takut semesta yang kubuat kembali berantakan. Karena, semua ini telah kubangun bersama dia.
Maka, aku tidak ingin semua hal yang telah kami usahakan bersama hancur begitu saja karena masing-masing dari kami yang terlalu keras dan tidak mau mengalah.
Meskipun sebenarnya, sulit bagiku menjauh dari gadis itu. Gadis yang mampu membuatku merasakan ketenangan yang tidak pernah kujumpai dari siapa pun, termasuk Alyssa sekali pun.
Entah apa yang ia punya, sampai-sampai ketika berusaha menjauh darinya, aku seperti kehilangan setengah diriku yang lain.
Padahal jika dipikir dengan waras, harusnya aku lebih sedih jika berpisah dengan Alyssa. Tetapi, untuk gadis itu, aku merasakan kehilangan lebih dalam.

Berkali-kali aku mencampakkannya, tidak jarang aku berlalu dari hadapannya secara langsung ketika ia menghampiriku dan bertanya Mengapa sikapku berubah semenjak hari itu?

Sungguh, ingin sekali aku menjawab dengan lantang dan menjelaskan semuanya padanya. Tetapi, aku takut. Takut kehilangan seseorang yang mampu membantuku dalam mengubah sudut pandang terhadap dunia. Jadi, aku memilih bungkam. Sebab, aku mengetahui jika aku mengatakan hal yang sebenarnya, ia akan merasakan sakit yang sama. Sakit yang tak mampu diobati dengan langsung.
Sampai suatu hari, aku berdebat dengan Naya tentang mengapa sikapku yang terus-menerus menjauh ketika ia berusaha mendekatiku.

"Kamu itu kenapa, sih?!"

Tanya Naya padaku seraya menghalau langkahku yang terus melaju tanpa sedikit pun menoleh padanya.

"Kamu gak akan pernah ngerti, Naya."

Jawabku menunduk dan berusaha mencari jalan lain untuk melewatinya.

"Ya, gimana orang mau ngerti kalau sesuatu tersebut gak pernah dijelasin. Kamu sendiri yang bilang padaku waktu itu, bukan? Orang gak akan pernah ngerti, kalau kamu sendiri gak mau ngejelasin."

Pekiknya dengan keras, saat aku berhasil berlalu dari hadapannya.
Seketika aku terdiam, langkahku tercekat oleh apa yang Naya lontarkan. Seolah membalikan bumerang dengan memberi kata yang pernah kuucapkan padanya.
Perlahan, aku menolehkan kepala dengan pelan, lalu berdiam diri dan mematung menatap gadis itu yang memancarkan raut lemas.

"Aku gak suka ada di dekat kamu, Naya. Kamu itu terlalu over. Padahal, kamu bukan siapa-siapa di hidupku."

Tanpa sadar, aku mengutarakan kebohongan. Bahkan, ini bukanlah sebuah kebohongan lagi, melainkan kemunafikan paling menjijikan.
Aku sendiri pun terkejut setelah menatap gadis itu menitihkan air mata atas apa yang telah kulakukan.

"Dasar manusia bodoh!"

Serunya dengan nada keras, memakiku dan pergi berlalu.
Aku pantas mendapatkan cacian itu.
Dan akhirnya, dia memilih mengalah.

Semenjak hari itu, Naya kecil tidak pernah sedikit pun mendekatiku lagi.
Terkadang, dari kejauhan melihatku saja, dan kami saling menyadari bahwa kehadiran kami berdua ada, dia memilih berlalu atau mencari jalan lain untuk menjauh dariku.
Ibarat melihat sampah mungkin ketika Naya menyadari bahwa di situ terdapat aku, jadi dia memilih mencari jalan lain untuk tidak mencium bau.

***

Waktu terus berputar, memindahkan masa demi masa dengan cepat.
Tidak terasa, kuliahku sudah berlangsung menuju semester 2.
Sebelum sampai di titik itu, aku mendapatkan tugas akhir dalam bentuk berkelompok. Masing-masing dari kelompok tersebut, terdiri dua orang. Entah memang rencana semesta atau sebuah kebetulan, aku mendapatkan rekan kelompok bersama Naya; Gadis yang sudah jauh hubungannya denganku.
Ada perasaan senang yang terselubung pada diriku karena.. Karena akhirnya aku bisa kembali bercengkerama dengannya setelah sekian lama. Namun tidak bisa dibohongi juga, disisi lain ada perasaan canggung juga.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang