Aku terbangun, oleh ketukan keras dibalik pintu.
Terdengar dari suaranya meneriaki kami yang berada di dalam kamar untuk segera bersiap agar tidak tertinggal shalat berjamaah di Mesjid.
Wisnu terlihat seperti tidak peduli meskipun suara teriakan yang bergema itu diiringi ketukan keras berkali-kali. Sial, dia benar-benar tidak terganggu sama sekali. Posisi tidurnya tetap dalam keadaan diselimuti oleh kain putih yang tebal sambil memeluk guling.
Baru sekali mendengar saja aku sudah terusik dan tidak nyaman, tapi dia tetap seperti baik-baik saja."Nu! Bangun!"
Karena kesal aku mendekatinya dan menggoyangkan tubuhnya agar dia tersadar dari mimpi yang membuatnya begitu lelap.
Adrenalinenya bergerak cepat, ia langsung terbangun saat ku goncang tubuhnya."Iya, Ray. Sebentar. Nyawa gua masih di Aussie."
Ia perlahan membuka mata.
"Gua mandi duluan, ya. Kalau pas beres mandi nanti lu masih tidur, gua tinggalin."
"Iya, Ray. Bawel banget, deh."
Ia menjawab ku dengan nada terengah, setengah kesal karena sebuah paksaan.
Aku langsung beranjak, dan pergi menuju kamar mandi.Setelah selesai, aku melihat dia sedang duduk menghadap tirai jendela, menunggu giliran ku hingga selesai dengan menatap suasana luar dari dalam.
"Tuh, giliran lu."
Wisnu melirik, tanpa menunggu lama ia langsung berdiri melewati ku dan pergi menuju kamar mandi.
Sesudah menyiapkan apa yang perlu ku siapkan untuk nanti, aku keluar kamar untuk menunggu Wisnu di balkon yang kami tempati semalam untuk menghilangkan penat sejenak.
Langit masih tampak gelap, warnanya gelamnya belum memudar berganti cerah. Mungkin karena waktu masih menunjukan pukul 4 pagi, pergantian cuaca masih belum dimulai disaat waktu seperti ini.
Aku mengeluarkan rokok dari dalam saku yang masih tersisa beberapa batang sisa semalam, mulai membakar dan menghisapnya pelan-pelan untuk bisa lebih dirasakan.
Tidak lama, Wisnu muncul dari belakang ku dan menghampiri lalu duduk dipinggir, kami menghadap arah yang sama.
Ia sudah dalam keadaan siap. Memakai baju koko putih serta sarung andalannya yang berwarna hitam."Sebelum kesana, ngerokok dulu, nih. Santai aja, kalau udah beres langsung cabut. Lagipula, adzan masih sekitar 25 menit. Cukup, lah."
Aku menyodorkan rokok yang tersisa tadi malam.
"Iya, oke."
Ia mengangguk sambil mengambil satu batang rokok.
Ada yang mengganjal dihati ku.
Aku merasa gelisah. Gundah. Resah.
Akan segala hal. Sebab penyebab utamanya adalah rasa takut yang menerpa.
Suhu tubuh ku menggigil, lidah kemelu. Aku kaku."Lu nggak kenapa-napa, Ray?"
Wisnu menyentuh bahu ku.
Dia menyadari, ada yang tidak beres."Gua gugup, Nu. Gua takut Alyssa nggak siap untuk itu, untuk membalas perasaan yang selama ini gua simpan."
Aku langsung membicarakan point penting yang ingin ku sampaikan tanpa berbelit.
"Ray, yakin sama diri lu sendiri, ya. Kalau pun ternyata lu nggak menemukan jawaban atas apa yang ingin lu tanyakan, berarti, pertanyaan itu memang bukan buat lo."
Wisnu menggenggam bahu ku, menguatkan keyakinan apa yang ku miliki pada diri sendiri.
Senyum getir ku ditarik dengan cepat oleh kalimat yang Wisnu keluarkan.
Aku merasakan ketenangan."Terima kasih banyak, ya, Nu. Gua selalu nggak pernah ngira bahwa kita ini temenan baru kemarin, kayak rasanya, sudah berangsur-angsur saja gitu sekian lama. Gua nggak ngerasa sedikitpun ragu kalau lo yang bicara."
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...