Adaptasi

21 24 0
                                    

Begitu sampai di halaman rumah, aku melihat motor yang tidak asing ketika dilihat. Motor bebek berwarna hitam dipoles sedikit putih untuk membuatnya terlihat selaras. Ya, motor teman sekelasku, Rian. Aku langsung segera menuju rumah untuk memastikan apa benar atau tidak sosok yang berada dalam dugaanku berwujud nyata adanya.
Dan ternyata, benar. Dengan santai dia sedang duduk di ruang tamu bersama Riza sembari mengobrol, sesekali menyeruput minuman yang disuguhkan.

"Lu ngapain di rumah gua?!"

Aku menyela dengan pertanyaan yang menyerobot ke intinya di tengah obrolan mereka berdua.

"Mas, apaan, sih? Kok gitu sama tamu yang emang temen Mas sendiri?"

Riza menatapku seraya mengerutkan dahi keheranan karena pertanyaanku yang memang sebenarnya tidak pantas diutarakan.

"Bukan gitu, Za. T-tapi.."

"Nggak kayak gitu juga, Ray, mempertanyakan usul dan tujuan seseorang saat ingin memastikan apa yang ia maksud sebenarnya. Yang baik, dong, ah. Basa-basi dulu untuk mencairkan suasana, lalu ketika sudah mengalir tentukan segera arah yang memang ingin dituju, Mama sama Papa nggak pernah ngajarin kayak gitu, lho.."

Tiba-tiba, saat hendak menjawab pertanyaan Riza aku disekat oleh pernyataan Mama yang sedang membawa cookies yang sengaja beliau beli di warung untuk menyuguhkan Rian.

"Iya, Ma, maaf."

"Nak Rian, ini dimakan, ya. Mama Ray tadi sengaja belikan untuk kamu."

"Makasih, Tante. Maaf kedatangan saya ngerepotin dan bikin gak enak."

"Nggak pa-pa, kok, tenang aja. Tante seneng malah kalau ada yang berkunjung, apalagi temen baru Ray, soalnya yang sering dia bawa untuk main kerumah cuma sahabat kecilnya aja."

"Sekali lagi, makasih banyak, ya, Tante."

"Tentu saja sama-sama. Harus dimakan, ya, nggak boleh dianggurin, kalau gak dimakan gak boleh dateng kesini lagi."

Mama, Riza, dan Rian bergelak tawa secara bersamaan saat pernyataan terakhir itu mendarat dari mulut Mama untuk penutup percakapan. Dan Mama segera berlalu dari hadapan kami setelah itu.
Aku hanya diam, rasanya tidak masuk sama sekali untuk mencoba menerobos obrolan ringan itu. Ya, karena dangkalnya otakku.
Setelah Mama berlalu, aku mencoba mengambil posisi dan duduk didepan Riza dan Rian yang berdampingan. Menghela nafas dengan panjang untuk berusaha menenangkan keadaan.

"Sorry, buat hal yang bikin gak enak tadi."

"Tenang, santai aja kali. Gue ngerti posisi lu, kok."

Sial, tiba-tiba aku tercekat lagi. Oleh jawaban datar yang Rian daratkan.
Seolah dia benar-benar mengetahui keseluruhan diriku dengan berbicara seperti itu.
Entah mengapa rasanya seperti kesal sekali namun tetap ku tahan, karena aku tidak ingin memperkeruh lagi suasana yang sudah mereda.

"Sekitar berapa lama lu udah disini?"

Aku melontarkan pertanyaan basa-basi seperti apa kata Mama, untuk mencairkan suasana dan perlahan berusaha untuk pelan-pelan meredam kekesalan agar tidak terjadi kesalahan yang sama.

"Ada, lah, 30 menit."

Ia menjawab pertanyaanku masih dengan laga polos seakan tidak terjadi apa-apa, padahal jikalau dia sadar dan waras, dia menyadari bahwa aku sedikit geram karena tingkah lakunya yang sok dekat.

"Yaudah, silakan dinikmati dulu apa yang udah nyokap gua kasih. Sorry, gak bisa ngasih yang lebih. Gua mandi dulu sebentar."

Aku menyatakan suatu hal untuk memberi jeda terhadap suasana dan percakapan yang menurutku benar-benar tidak jelas intinya mengarah kemana.
Lalu aku segera beranjak dan pergi meninggalkan Riza dan Rian untuk pergi ke kamar mandi.

"Iya, gak pa-pa. Makasih, lho. Gua malah ngerepotin."

Ia tetap berusaha menjawabku meskipun aku sudah berpaling saat selesai mengatakan itu, aku tidak menghiraukan, tidak ku jawab lagi apa yang ia lontarkan.

Setelah selesai, aku kembali menghampiri ruang tamu untuk mengajak Rian menuju kamar, untuk berpindah ruangan.
Sebab, ada rasa yang mengganjal yang perlu ku tuntaskan.
Aku ingin menanyakan hal apa yang membawanya kesini.

"Yan, ayok pindah. Lu udah kan nikmati makanannya?"

"Udah."

"Yaudah, ikut gua."

Dia hanya mengangguk sembari membereskan makanan dengan menutup wadah yang sudah dibuka, lalu berdiri dan mengikutiku.

"Ri, maaf, ya. Mas udahin obrolannya, ada sesuatu yang penting yang mau Mas bicarain sama Kak Rian."

"Iya, Mas, nggak pa-pa. Riza juga mau masuk kamar aja kalau gitu."

"Yaudah, gih."

Riza menyetujui permintaanku tanpa negosiasi, dan akupun kembali melanjutkan apa yang sudah ku mulai tadi.
Pintu mulai ku kunci dengan rapat agar percakapan kami berdua tidak terlalu terdengar sampai ke luar ruangan.

"Lu maksudnya apaan, sih? Dateng ke rumah gua ga bilang dulu."

Aku memulai pembicaraan dengan langsung melontarkan pertanyaan yang mengarah pada intinya.

"Lho? Tadi di sekolah kan gua udah bilang. Kalau gua mau main ke rumah lu."

Masih dengan nada yang benar-benar datar ia menjawab pertanyaanku untuk ke sekian kalinya.

"Ya, tapi kan, lu gak bilang hari ini mau datengnya!"

Aku langsung menyambar jawabannya dengan nada kesal.

"Lu keberatan, ya? Kalau gua main ke rumah lu?"

Nadanya seketika berubah menjadi sangat turun setelah mendengarku seperti itu.

"Ya, bukan keberatan juga, sih. Cuma kayak, bilang dulu, lah. Biar sama-sama enak, kan."

"Iya, sih. Gua nyadar, kok, gua salah. Gua minta maaf kalau cara gua selalu gak jelas buat bisa jadi temen lu. I'm just tried to be my self for anyone, but if you doesn't like, i'm so sorry. I will tried for change soon."

Suasana yang tadinya cukup mencekam, tiba-tiba berubah seperkian derajat dengan cepat.
Rasa sakit seperti menjadi bumerang yang membalikkan arah, perasaan bersalah menjalari setiap pikiranku.
Aku selalu hilang kendali terhadap pikiran dan perasaan, lalu tanpa sengaja seringkali menyakiti perasaan orang lain.

"Yan, sorry.. Gua nggak bermaksud untuk mengarah kesitu, cuma kayak emang agak overuse aja dimata gua kalau hal-hal yang jarang terjadi. Gua juga minta maaf, ya?"

Untuk kembali merubah keadaan, dengan perlahan dan lapang aku mengutarakan rasa bersalah lalu meminta maaf.
Responnya hanya tersenyum dan mengangguk seraya menaikkan alisnya sebelah, tanda menerima segala apa yang tlah ku lakukan.

Lalu kami berdua melanjutkan dengan obrolan layaknya manusia antar manusia yang berteman.
Seperti biasa ditemani beberapa batang nikotin dan segelas kafein untuk mengiringi suasana.

Bisa dibilang, hampir mempunyai banyak kesamaan dari kami berdua. Dimulai dari sama halnya senang menonton anime bergenre thriller dan action, lalu menyukai motor yang memang tahunnya cukup jadul dan  seluruh tubuhnya berlapis besi, dan yang terakhir membaca buku.
Namun sedikit beda, jika aku membaca yang hanya mewakili perasaan saja, dia membaca buku apapun.
Ya, hampir-hampir mirip secara keseluruhan setelah saling mengobrol dan berbagi hal yang memang searah untuk dibagikan.

Aku merasa menemukan sesuatu yang tlah lama hilang bertemu Wisnu dan Rian, ya, ikatan pertemanan.
Entahlah, aku tidak berharap banyak, semoga apapun berjalan dengan baik. Meskipun terkadang sulit sekali untuk menghindari dan membuang jauh pikiran buruk yang menghantui.

Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang