Adzan maghrib berkumandang.
Sebuah tanda bahwa hari sudah gelap, dan aku perlu pergi menuju Mesjid.
Namun sebelum sampai pada tujuan, aku memang terbiasa mampir ke rumah Mirzha dan Nizar untuk mengajak berangkat bersama.
Ditambah, rumah kami bertiga tidak berjauhan dari Tempat Ibadah itu."ZHAAAAAAA!"
Panggil ku, tak lama terdengar sahutannya.
"Duluan, Ray! Nanti nyusul!"
Setelah mendengar itu, lalu aku meneruskan langkah untuk mampir ke rumah nizar.
"ZAAAR! MAU BARENG NGGAK?"
"TUNGGU SEBENTAR, RAY! LAGI PAKAI BAJU!"
Jawabnya sambil berteriak.
Tak lama setelah itu, ia keluar dan bertanya."Sudah ke Rumah Mirzha?"
"Sudah, katanya dia menyusul."
"Ya sudah, yuk."
Kami berdua melangkah menuju mesjid.
Selesai.
Lalu kami bertiga pulang bersama.
Di perjalanan, Mirzha bertanya."Malam ini ada latihan, Ray?"
"Iya, malam ini fisik."
"Yah, pasti lama lu kalo latihan fisik."
"Pasti larut pulangnya."
"Sambil nunggu, diam di rumah lu aja, Zha, ngopi."Nizar menyelip pembicaraan, seperti biasa, kalo tidak damkar ya damri.
"Iya, ayok."
Mirzha menyetujui perkataan Nizar.
"Gua nyusul, tapi nggak janji."
"Takut benar apa kata Nizar, terlalu larut pulangnya."Aku memberikan pernyataan yang abu dalam jawaban.
"Iya, kabari saja."
"Oke. Duluan, ya."
Mereka melambaikan tangan, lalu kita berpisah arah.
Sampai dirumah aku langsung bersiap untuk pergi menuju padepokan.
Ternyata, hari ini tidak latihan fisik. Sebab, guru yang mengajarnya sedang tidak fit. Jadi, latihan hanya sebentar dan aku pulang cepat, tidak terlalu larut.Begitu sampai di rumah kembali. Tanpa masuk ke dalam, aku langsung memarkirkan motor di teras rumah lalu pergi menuju rumah Mirzha.
"Zha?!"
Aku memanggil sedikit kencang saat berada di depan rumahnya.
"Masuk ray, Mirzha ada diatas sama Nizar."
Ternyata yang keluar seraya menjawab ibuknya Mirzha.
"Iya, buk. Permisi."
Sebelum melewati Ibuk Mirzha, aku salam terlebih dahulu. Lalu melanjutkan langkah ke tempat yang sudah ditujukan.
"Lho? Kok tumben sebentar?"
Nizar bertanya, pura-pura dengan mode heran padahal basic.
"Iya, nggak jadi fisik. Guru yang latih katanya nggak bisa hadir, kurang fit."
"Mmm.. Gitu."
"Gitar dimana?"
Aku beralih dan bertanya kepada Mirzha.
"Sebentar."
Mirzha menuju kamarnya untuk mengambil gitar, lalu memberikannya pada ku.
"Begadang nggak, sih?"
Tawaran ku, kepada mereka berdua.
"Besok sekolah, bangsat."
Sahut Nizar.
"Cabut lah"
Aku menjawab dengan flat.
"GAS!"
Mirzha sepakat atas pendapat yang ku ajukan.
Refleks Nizar menjawab,
"Nggak dulu, ah. Besok pelajaran killer."
"Payah!"
Mirzha meledek pernyataan Nizar.
"Dasar, kaum lemah ya Zha?"
Aku membantu dalam meledek Nizar supaya suasana lebih memanas.
"Di Ruang BK, nama gua udah kepapar gede anjing, bukan lemah."
Katanya, memotong pembicaraan mencari alasan.
"Justru itu zar, hitamkan."
Dengan dingin aku menimpas perkataan Nizar.
"Maksud lu biar di DO gitu?"
"Iya dong, ya nggak Zha?"
"HAHAHA benar, Ray!"
"Biar jadi pengangguran."Kami berdua terus meledek nizar tanpa henti, agar manusia lemah tapi berlaga tinggi itu terbawa dan terpancing. Soalnya, dia mudah sekali.
Lalu tak lama, dia menggebrakan asbak yang sedang dipakai.
"GAS ANJING!"
Aku dan Mirzha refleks terkejut, saling menatap, dan tertawa.
Karena rencana membuat umpan terpancing itu terjadi."Gitu dong."
"Itu sahabat, kompak. Ya kan, Zha?""Iya dong."
"Kompak-kompak bullshit, ya kali lu pada jatuh ke jurang gua harus ikut, ogah."
Jawabnya dengan nada sebal.
"Jelas dong, biar Neraka bersama."
"Pamali, goblog. Lu aja ke Neraka duluan, gua sih juga ogah!"
Aku menepis mirzha.
"Enggak yaAllah bercanda, biar Nizar sendirian aja kalo mau masuk Neraka."
Setelah aku menepisnya, tiba-tiba ia menadahkan tangan dan berdo'a namun dibalut candaan untuk mencairkan suasana.
"Anjing, kalo ngomong."
Nizar memukul pelan lengan Mirzha, lalu kami bertiga tertawa.
Begitu eratnya tali persahabatan kami, sudah tak mengenal apa itu kata jaim. Apapun, ketika bersama akan kami diskusikan untuk mencari jalan keluar.
Kami berbincang hingga dini hari.
"Sudah mau Adzan shubuh, pulang yuk?"
"Yuk."
Nizar menjawab pertanyaan ku
"Zha, pamit ya."
"Oh iya, mau janji dimana nanti?""Main PS nggak, sih?"
"SETUJU!"
Aku menyetujui pendapat yang di keluarkan Nizar.
"Leggo! Udah lama banget, ya. Tapi PS 2 saja, ah. Seru kayaknya."
Mirzha pun setuju terhadap pendapat Nizar.
"Benar, sudah lama banget, ya."
Aku pun ikut menimbrung.
Lalu kami bertiga sepakat untuk bolos sekolah menuju tempat bermain playstation.
KAMU SEDANG MEMBACA
Renjana, semestaku hanya tentangmu. (END)
RomanceBukan, ini bukan sepenuhnya tentang kisah cinta. Ini tentang perjalanan seorang laki-laki yang berusaha menjadi yang terbaik untuk keluarganya, untuk sahabatnya, dan untuk seseorang yang menjadi tumpuannya dalam melanjutkan kehidupan. Sebab, ia hany...